Rabu 14 Sep 2016 08:29 WIB

Situasi Gencatan Senjata Suriah Dramatis

Rep: Puti Almas/ Red: Ani Nursalikah
Gerilyawan menaiki kendaraan tank di kawasan Aleppo, Suriah.
Foto: Reuters
Gerilyawan menaiki kendaraan tank di kawasan Aleppo, Suriah.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT --  Gencatan senjata di Suriah telah dimulai, Selasa (13/9). Dengan diberhentikannya pertempuan sementara waktu, PBB memulai misi mereka untuk menyalurkan bantuan kepada warga sipil, khususnya di wilayah timur Aleppo yang sebagian dikuasai oleh pasukan oposisi.

Utusan PBB untuk Suriah, Staffan de Mistura menyatakan situasi telah menjadi sangat dramatis dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (HAM) juga mengatakan belum ada warga sipil yang tewas akibat adanya pelanggaran gencatan senjata di setiap wilayah yang ditetapkan aturan tersebut.

"Situasi dramatis meningkat dengan tidak adanya serangan udara di Aleppo seperti sebelumnya. Namun, masih ada kemungkinan kekerasan terjadi selama gencatan senjata berlangsung," ujar Mistura, Selasa (13/9).

Gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat (AS) dan Rusia kali ini merupakan upaya kedua menghentikan konflik di Suriah pada tahun ini. Sejak berlangsung lima tahun lamanya, jumlah korban tewas akibat pertempuran di negara itu mencapai 430 ribu orang. Sekitar 11 ribu warga di negara itu juga telah kehilangan tempat tinggal mereka.

Selain di Aleppo, gencaran senjata juga dilakukan di Damaskus. Tim penyalur bantuan dari PBB mengatakan hingga saat ini masih menunggu surat otorisasi pengiriman dari Pemerintah Suriah agar hal itu bisa segera dilakukan.

Moskow dan Washington bersama sepakat untuk berbagi informasi dalam memerangi kelompok-kelompok militan di Suriah. Kedua pihak menargetkan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) serta Alqaidah.

Meski demikian, gencatan senjata sempat dilanggar di Maan, sebuah desa di Aleppo pada Selasa petang, sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Tidak jelas siapakah kelompok bersenjata yang mencoba kembali memulai pertempuran.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement