REPUBLIKA.CO.ID, GENEWA -- Suriah akan menjadi sorotan utama saat para pemimpin negara berkumpul di Majelis Umum PBB pekan depan. Sekitar 135 kepala negara dan pemerintah disertai puluhan menteri akan menghadiri pertemuan General Assembly ke-71.
Bagi Presiden AS Barack Obama dan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, pertemuan tersebut akan menjadi partisipasi terakhir . Ban akan mengakhiri masa kepemimpinannya pada akhir 2016 setelah bertugas selama satu dekade.
"Tidak ada konflik yang menyebabkan luka mendalam, mematikan, merusak dan mengganggu kestabilan seburuk perang di Suriah," kata Ban. Ia menodong sejumlah negara yang terkait dengan perang tersebut punya tugas besar untuk mendorong pada solusi politik.
Sementara dalam perkembangan terbaru, Rusia dan AS masih berseberangan soal gencatan senjata. Padahal bantuan kemanusiaan mengantri untuk sampai pada sipil yang terkepung. Kondisi mereka sudah lebih dari sangat membutuhkan.
Anggota International Syria Support Group (ISSG), termasuk AS dan Rusia akan bertemu di sela-sela pertemuan PBB pada Selasa. Dewan Keamanan PBB juga akan menggelar pertemuan tingkat tinggi mengenai Suriah pada Rabu.
Rusia telah mengedepankan ide agar dewan mendukung gencatan senjata yang diusungnya. Namun pada Jumat, sebuah resolusi menghambatnya karena Washington tidak ingin berbagi dokumen soal kesepakatan dengan badan beranggotakan 15 negara itu.
Deputi Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, Ben Rhodes mengatakan ia mengantisipasi banyak diskusi AS di PBB. "Kami akan fokus pada situasi di Suriah, respons terhadap tes nuklir terbaru Korea Utara juga upaya bersama kami dalam melawan ISIS," kata Rhodes.
Sebelum para pemimpin dunia memulai pidato tradisional mereka pada Selasa, 193 anggota Dewan Umum akan bertemu pada Senin. Mereka akan mengadopsi deklarasi politik soal migran dan pengungsi. Ini bukan deklarasi legal dan tidak diikuti oleh seruan Sekjen.