REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Presiden Barack Obama menyampaikan kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu keprihatinan Amerika Serikat soal perluasan permukiman oleh Israel di Tepi Barat yang didudukinya.
Obama berharap AS masih bisa membantu upaya mewujudkan perdamaian Israel-Palestina.
"Jelas ada bahaya besar, bukan hanya terorisme tapi juga munculnya kekerasan," kata Obama pada awal sesi pertemuannya dengan Presiden Netanyahu, kemungkinan pertemuan yang terakhir dalam posisinya sebagai presiden AS.
Obama akan meninggalkan jabatannya pada Januari 2017.
"Kami memang juga prihatin soal kegiatan permukiman. Dan harapan kami adalah, kami bisa terus menjadi mitra yang efektif bagi Israel dalam mencari jalan untuk mewujudkan perdamaian," kata Obama kepada para wartawan ketika kedua pemimpin bertemu di sela-sela pertemuan tahunan para pemimpin dunia di Perserikatan Bangsa-bangsa.
Netanyahu, yang memiliki hubungan bergejolak dengan Obama, mengatakan ia menghargai pembicaraan mereka soal tantangan-tantangan yang dihadapi Israel.
"Tantangan terbesar adalah, tentu saja, fanatisme yang tiada henti. Peluang terbesar adalah untuk memajukan perdamaian. Saya dan rakyat Israel tidak akan menyerah untuk mencapai tujuan itu. Kami selama ini beruntung dalam menjalankan dua tugas ini, Israel memiliki teman paling hebat, Amerika Serikat," kata Netanyahu.
Sebelum menyampaikan pernyataan kepada para wartawan, Obama dan Netanyahu sudah terlebih dahulu melakukan pembicaraan.
Setelah itu, seorang pejabat tinggi AS mengatakan kepada wartawan kedua pemimpin dalam pertemuan membahas hubungan Israel-Palestina, peningkatan kekerasan dan perluasan permukiman oleh Israel di Tepi Barat, yang merupakan tanah tempat 2,7 juta warga Palestina tinggal.
Pejabat tersebut mengatakan pembicaraan juga menyentuh masalah kegiatan permukiman terus-menerus oleh Israel pada saat Israel memasuki 50 tahun pendudukannya serta kekhawatiran AS yang mendalam terhadap dampak parah yang kemungkinan membayangi masa depan perwujudan dua negara.
Palestina berharap dapat membentuk sebuah negara independen di Tepi Barat yang diduduki Israel, dan di Jalur Gaza yang dikendalikan Hamas serta ingin menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negaranya.
Israel menduduki Tepi Barat dalam perang Arab-Israel pada 1967.
Obama merujuk pada bantuan militer senilai 38 miliar dolar AS (Rp 496,3 triliun), yang kesepakatannya sudah ditandatangani oleh kedua sekutu itu pada 14 September. "Saat ini adalah masa yang sangat sulit dan berbaya di Timur Tengah, dan kami ingin memastikan Israel memiliki kemampuan yang diperlukannya dalam memberikan keamanan bagi rakyat Israel," kata Obama.
Paket 38 miliar dolar itu merupakan bantuan militer terbesar yang pernah diberikan Amerika Serikat kepada negara mana pun. Bantuan militer besar-besaran itu akan mendukung upaya Israel meningkatkan kemampuan sebagian besar pesawat tempurnya, mobilitas pasukan di darat serta sistem pertahanan peluru kendali, kata seorang pejabat AS pekan lalu.
Sebagian besar negara menganggap pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat sebagai tindakan ilegal dan menghambat upaya perdamaian. Israel menolak anggapan tersebut dengan mengatakan masyarakat Yahudi sudah tinggal di wilayah itu selama beribu-ribu tahun, demikian Antara News.