REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan konflik Israel-Palestina sejatinya bukan tentang pendudukan, tetapi tentang ketidakmauan Palestina mengakui keberadaan negara Yahudi.
"Konflik ini hanya bisa berakhir kalau Palestina mengakui keberadaan Israel. Saya tak siap berunding tentang keberadaan Israel," ujar Netanyahu diiringi tepuk tangan sebagian peserta sidang Majelis Umum PBB di New York pada Kamis (22/9) seperti disiarkan stasiun TV Aljazeera.
Netanyahu menuding Palestina tidak saja terjebak pada masa lalu, tetapi pemimpinnya juga meracuni masa depan. Ia menyebut kepemimpinan Palestina diisi dengan embusan napas kebencian dan keputusasaan bagi orang-orang mudanya.
Hal itu. menurut dia, berimbas pada dihalalkannya para pemuda Palestina tersebut untuk membunuh warga Israel. Itu pula yang membuat Palestina menolak untuk mencapai kesepakatan damai.
Seperti diberitakan The Washington Post, pernyataan tersebut Netanyahu lontarkan menanggapi pernyataan Presiden Palestina Mahmoud Abbas saat berpidato di forum tahunan tersebut. Abbas mengatakan tidak ada cara untuk mengalahkan terorisme dan ekstremisme, bahkan mencapai keamanan dan stabilitas di wilayah Palestina tanpa mengakhiri pendudukan Israel.
Diana Buttu, seorang analis Palestina yang pernah terlibat dalam negosiasi perdamaian, berpendapat serangan rakyat Palestina merupakan reaksi alami untuk situasi keputusasaan yang dipupuk oleh pertumbuhan permukiman Israel di tanah Palestina. Bahkan bangsa Israel berharap menjadi negara di masa depan, dengan menggeser kebijakan pemerintahan dan kepemimpinan Palestina.