Kamis 29 Sep 2016 14:26 WIB

Pekerja Migran Dituding Curi Pekerjaan dari Warga Thailand

Aparat kepolisian Thailand
Foto: Reuters/Erik De Castro
Aparat kepolisian Thailand

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Thailand menindak para pekerja migran dari sejumlah negara tetangga dan mengatakan mereka merebut pekerjaan dari warga Thailand, di tengah kekhawatiran terkait meningkatnya perasaan anti-imigran saat perekonomian negara itu mengalami perlambatan.

Dalam sebuah operasi yang dipimpin oleh Departemen Ketenagakerjaan Thailand, kepolisian dan tentara pada Rabu (28/9) menggerebek sebuah pasar di Bangkok dan menahan 14 orang. Sebagian besar di antara mereka berasal dari Myanmar.

"Kami telah mendapatkan banyak keluhan terkait para imigran gelap yang bekerja di pasar termasuk warga Vietnam dan bahkan warga Asia Selatan yang mencuri pekerjaan dari warga Thailand," kata Kepala Polisi Imigrasi Thailand Nathorn Phrosunthorn kepada wartawan Reuters.

"Mereka seharusnya melakukan pekerjaan yang tidak diinginkan oleh warga Thailand seperti pembantu rumah tangga," ujarnya.

Di bawah ketentuan 2015, warga Vietnam terbatas dalam pekerjaan mereka di Thailand dan hanya dapat bekerja sebagai buruh di sektor perikanan atau konstruksi Thailand. Warga Kamboja juga ditahan saat penggerebekan, bersama dengan mereka yang berasal dari Myanmar dan Vietnam.

Perasaan anti-imigran

Lebih dari tiga juta orang migran bekerja di Thailand, sebagian besar berasal dari Myanmar, menurut Organisasi Migrasi Internasional.

Thailand menjadi kaya raya dibandingkan dengan negara-negara tetangganya saat perekonomian mereka meningkat lebih dari tujuh persen tiap tahunnya pada 1980-an dan 1990-an. Hal tersebut menarik para pekerja migran dari wilayah Mekong Delta dan sebagian wilayah Asia lainnya.

Mereka sebagian besar melakukan pekerjaan yang biasanya tidak diinginkan oleh warga Thailand, termasuk pekerjaan kasar di sektor perikanan dan konstruksi. Namun, lebih dari dua tahun setelah pemerintah militer merebut kekuasaan dan dengan perekonomian Thailand yang sedang goyah, sejumlah kelompok hak asasi juga melihat meningkatnya perasaan benci terhadap para imigran di Thailand, menyamakannya dengan perasaan serupa yang ada di negara lain.

"Sepertinya terdapan peningkatan perasaan nasional dalam kebijakan imigrasi Thailand yang mengklaim para migran dari Vietnam, contohnya, yang mengambil pekerjaan yang hanya boleh dilakukan oleh warga Thailand," Sunai Phasuk dari Human Rights Watch mengatakan kepada wartawan Reuters.

"Kami belum melihat peningkatan perasaan anti0imigran seperti ini selama beberapa dasawarsa. Ini berpengaruh terhadap kekhawatiran ekonomi."

Sanit Choklamlert, seorang penjaga tokodi distrik Silom, Bangkok, mengatakan para migran dipandang sebagai pesaing bagi beberapa warga Thailand. "Terdapat terlalu banyak warga Myanmar yang ada disini saat ini dan mereka memperebutkan pekerjaan yang sama dengan kami," ujarnya.

Perdagangan Manusia

Perekonomian Thailand berada di jalur pertumbukan sebesar tiga persen pada 2016 setelah meningkat dari 2,8 persen pada 2015 dan hanya 0,7 persen pada 2014. Nathorn mengatakan bahwa tindakan keras itu tidak didorong oleh kebijakan anti-imigran. "Kami masih memerlukan pekerja migran. Kamu hanya ingin menjaga ketertiban," kata dia.

Penggerebekan itu menyasar sejumlah pasar, restoran, swalayan dan pusat perbelanjaan. Sekitar 153 orang imigran dikumpulkan sejak 1 September hingga 26 September, menurut data departemen tenaga kerja. Mereka yang tertangkap terancam dijatuhi hukuman penjara hingga lima tahun, denda hingga 3.000 baht (sekitar Rp 1 juta) atau deportasi.

Para migran juga seringkali berisiko jatuh ke tangan sindikat perdagangan manusia, yang menjual mereka untuk dijadikan buruh pertanian, penebangan pohon dan nelayan, sejumlah kelompok hak asasi mengatakan. Thailand disingkirkan dari daftar tahunan perdagangan manusia Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada tahun ini, meskipun adanya kerja paksa yang meluas di industri makanan laut negara itu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement