REPUBLIKA.CO.ID, BUDAPEST -- Mayoritas warga Hungaria diharapkan untuk menolak kebijakan Uni Eropa terkait masalah kuota migran melalui referendum, Ahad (2/10). Dengan demikian keinginan dari Perdana Menteri Viktor Orban di negara itu dapat terwujud dan bersiap untuk menghadapi perlawanan dari Belgia.
Orban yang menjabat sejak 2010 lalu selama ini dikenal menyuarakan kontra terhadap kebijakan imigrasi Uni Eropa. Pada tahun lalu, Hungaria menutup perbatasan, khususnya di wilayah selatan dengan ketat. Mulai dari pagar kawat berduri, hingga ribuan tentara dan polisi dikerahkan untuk berjaga.
Di Hungaria, tercatat setidaknya ada 18 ribu migran yang menyeberangi perbatasan negara dari jalur ilegal. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang lari akibat konflik di Timur Tengah.
Orban mendesak seluruh warga di Hungaria untuk mengirim pesan ke Uni Eropa mengenai penolakan kebijakan migrasi yang dinilai menimbulkan ancaman bagi Eropa. Dalam beberapa bulan ke depan, hasil referendum diharapkan juga bisa mencegah Belgia menetapkan aturan tegas untuk migran.
"Kami dapat mengirim pesan bahwa Uni Eropa tidak bisa memaksakan kebijakan imigrasi yang akan menghancurkan masing-masing negara di dalamnya," ujar Orban.
Ia sebelumnya mengatakan imigrasi massal warga dari timur Tengah berpotensi meningkatkan serangan kekerasan di Uni Eropa. Terlebih, bagi Orban adanya kebijakan migran bertentangan dengan karakter Hungaria.
Kelompok hak asasi manusia di Hungaria melontarkan kritik atas keinginan Orban. Mereka menilai pemerintah negara itu hanya menyebarkan kekhawatiran dan meningkatkan xenofobia, terlebih dengan memperlakukan pengungsi di perbatasan seperti saat ini.