REPUBLIKA.CO.ID, ALEPPO -- Satu-satunya kembang api di Aleppo, Suriah di tahun baru Islam kali ini berasal dari serangan udara tanpa henti.
Normalnya libur tahun baru Islam, yang jatuh pada Senin (3/10) di Suriah, dirayakan dengan mengunjungi keluarga dan teman dan pesta khusus. Namun, kali ini warga Aleppo yang terkepung harus mengalami semburan bom tanpa henti dari jet tempur Rusia dan Suriah.
Gencatan senjata berakhir bulan lalu.
"Kami tidak merayakan, tidak dengan darah semua orang di sekitar kami," ujar Ismail Alabdullah (29 tahun) yang bekerja bersama White Helmets, pasukan relawan yang menyelamatkan bagian timur kota.
"Semua orang di pusat kota berada di dalam rumah, tidak berkunjung seperti liburan biasanya," ujarnya.
Selama akhir pekan, Aleppo dibombardir puluhan serangan udara karena pemerintah Suriah melanjutkan pertempuran mengambil alih Aleppo sebagai kota terbesar. Ratusan warga sipil yang terperangkap memerlukan makanan, air dan obat-obatan.
"Mereka meluncurkan serangan darat di kota dengan tujuan menguasai seluruh lingkungan. Dengan serangan terus-menerus, mereka ingin orang yang terkepung menyerah," katanya.
Alabdullah dan warga sipil diwawancara melalui telepon dan Skype. Pada Ahad (2/10), pemerintah Suriah menawarkan jalur yang aman dan bantuan jika pasukan oposisi melucuti senjata mereka dan meninggalkan kota.
Namun, Alabdullah mengatakan tidak ada seorang pun yang mengambil tawaran itu.
"Akan ada perlawanan besar. Orang-orang tahu mengenai pembantaian yang dilakukan pasukan Presiden Bashar Assad di kawasan lain dan karena mereka tidak bisa pergi, mereka akan melawan," katanya, dilansir USA Today, Senin (3/10).
Serangan udara itu merusak atau menghancurkan sejumlah rumah sakit, menurut Alabdullah dan warga lain.
Pemerintah AS menuduh Rusia dan Suriah menargetkan konvoi bantuan kemanusiaan dan medis dengan sengaja untuk memecah resisten militan. Serangan itu menambah masalah medis karena mereka sudah kekurangan dokter, perlengkapan medis dan obat.
"Tidak ada cukup dokter di kota. Kami bangun setiap hari mendengar suara bom klaster, ledakan bom barel dan roket. Lantas yang terluka dilarikan ke rumah sakit," ujar Waed Al Khatib (24 tahun) yang tinggal di rumah sakit Al Quds dimana suaminya bekerja sebagai dokter.
Kekurangan minyak sayur memaksa warga membakar kayu yang mereka kumpulkan, meski mereka kehabisan makanan untuk dimasak. Pengepungan telah berlangsung selama lebih dari lima bulan.
"Tidak ada makanan di pasar. Tidak ada sayuran. Tidak ada buah. Tidak ada tepung. Tidak ada gula. Tinggal sejumlah beras dan sayuran akar yang tersisa," kata Al Khatib.
Roti juga langka karena toko roti jadi sasaran bom.
Warga lain, Um Yousif mengatakan setiap bulan harga barang naik. Warga bergantung pada bantuan dari kelompok kemanusiaan. Listrik dan air langka.
"Kami mendapat pasokan air setiap hari tiap pekan atau setiap 10 hari," ujarnya.