Selasa 04 Oct 2016 13:32 WIB

Tak Ada Rencana Cadangan Usai Rakyat Kolombia Tolak Perdamaian

Rep: Puti Almas/ Red: Ani Nursalikah
Presiden Kolombia Juan Manuel Santos (kedua kiri) berbicara dengan Sekjen PBB Ban Ki-moon. Presiden Kuba Raul Castro (kedua kanan) berbicara dengan pemimpin FARC Rodrigo Londono dalam penandatanganan kesepakatan damai, Senin, 26 September 2016.
Foto: AP Photo/Fernando Vergara
Presiden Kolombia Juan Manuel Santos (kedua kiri) berbicara dengan Sekjen PBB Ban Ki-moon. Presiden Kuba Raul Castro (kedua kanan) berbicara dengan pemimpin FARC Rodrigo Londono dalam penandatanganan kesepakatan damai, Senin, 26 September 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOTA -- Pemerintah Kolombia disebut tidak memiliki rencana B (cadangan) setelah kekalahan referendum atas kesepakatan damai dengan oposisi FARC. Setelah 50,2 persen rakyat di negara itu memilih menolak perjanjian damai dengan FARC, maka rencana mengakhiri setengah abad permusuhan seakan gagal.

Sebelumnya, pemerintah dan FARC telah menandatangani kesepakatan damai. Namun, hasil jajak pendapat diperlukan untuk mengesahkan keputusan tersebut.

Meski belum memiliki rencana lanjutan untuk mengakhiri konflik, Presiden Kolombia Juan Manuel Santos dan pemimpin FARC meyakinkan mereka berusaha mendorong perdamaian. Gencatan senjata bilateral antarpasukan dilakukan.

"Aku tidak akan menyerah. Aku akan terus berupaya membawa negara ini dalam perdamaian hingga saat akhir dari mandat saya tiba," ujar Santos, dilansir CBS News, Senin (3/10).

Baca: FARC Kecewa Kolombia Tolak Kesepakatan Damai

Pemimpin FARC Rodrigo Londono merilis sebuah video yang menyatakan kesediaan kelompok mematuhi perjanjian gencatan senjata permanen. Ia juga mengatakan suara dalam referendum tidak memiliki akibat hukum apa pun.

Keputusan final dikatakan olehnya sudah ditandatangani dan diserahkan pada dewan federal Swiss di Bern. Hal itu adalah kesepakatan kemanusiaan antara pihak bertikai di bawah Konvensi Jenewa telah tercapai.

Pria yang dikenal dengan nama Timochenko itu juga mengungkapkan kekecewaannya atas hasil referendum. Ia meyakini banyak pihak yang tidak ingin perdamaian di Kolombia tercapai mempengaruhi masyarakat di negara itu.

"FARC sangat menyesal kekuatan destruktif dari orang-orang yang menabur kebencian dan balas dendam telah mempengaruhi opini masyarakat Kolombia," ujar Timochenko.

Warga yang menolak kesepakatan damai itu disebut merasa FARC harus diadili atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan selama melakukan pemberontakan. Mereka menilai tidak adil jika para anggota kelompok itu dapat bebas dari kejatahatan yang telah dilakukan.

Sebagian juga mengatakan tidak percaya pada FARC. Hal itu disebabkan negosiasi yang pernah gagal dan dimanfaatkan oleh kelompok itu untuk kembali melakukan pemberontakan dengan senjata lengkap. Belum lagi, ada kekhawatiran karena Pemerintah Kolombia menjanjikan 10 kursi kongres pada pemilu negara itu 2018 dan 2022 mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement