REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Israel telah mencegat sebuah perahu secara ilegal, Rabu (5/10). Kapal Zaytouna-Olivia itu berlayar dari Barcelona menuju pelabuhan Palestina. Kapal yang biasanya membawa bantuan itu kali ini hanya berpenumpang para aktivis perempuan.
Mereka datang dari sejumlah negara, terutama Eropa. Mereka berlayar ke Palestina untuk menerobos blokade Israel atas Jalur Gaza. Mereka sudah berupaya melakukannya selama 10 tahun.
Namun, kapal kembali dicegat oleh angkatan laut Israel di perairan internasional, sekitar 50 mil dari Jalur Gaza. Militer Israel mengklaim kapal dihentikan di 35 mil dari pantai Israel.
Menurut mereka, kapten Zaytouna menolak berhenti setelah diperingatkan. Hingga akhirnya pelaut dari Angkatan Laut Israel mengambil alih kendali kapal sebelum mereka sampai di Gaza.
Sejumlah kelompok mengecam keras aksi Israel. Juru bicara Global Campaign to Break the Israeli Siege on Gaza, Motasem A Dalloul, menggambarkan aksi tersebut sebagai pembajakan.
"Pembajakan Israel atas kapal yang damai, yang legal berlayar dari Barcelona, yang di dalamnya ada pihak berwenang," kata Dalloul, seperti dilansir Days of Palestine. Ia menambahkan, tindakan Israel telah melanggar hukum internasional.
Meski demikian, menurutnya, misi kapal itu sudah terkirimkan. Misi utama kapal tersebut adalah untuk menarik perhatian internasional atas tindakan keras Israel dalam mengepung Gaza.
Kapal Zaytouna disponsori oleh Freedom Flotilla Coalition, kelompok pro Palestina yang berbasis di Eropa. Kapal berbendera Belanda itu membawa 13 aktivis perempuan, diketuai oleh Mairead Maguire, seorang peraih Nobel Perdamaian.
Seorang mantan kolonel AS dan mantan atlet olimpiade Afrika Selatan juga berada di atas kapal. Sejumlah aktivis perempuan lain berasal dari Inggris, Swedia, Rusia, dan Malaysia.
The Global Campaign for Breaking the Israeli Siege on Gaza juga meminta otoritas Israel memastikan keamanan dan keselamatan pada aktivis. Kelompok ini memperingatkan, mereka akan terus memantau aksi Israel itu. Mereka juga menyeru agar komunitas internasional segera bertindak menanggapi hal ini.