Rabu 26 Oct 2016 01:17 WIB

Mimpi Berakhir di Calais

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Budi Raharjo
Kamp migran di Calais, Prancis
Foto: telegraph
Kamp migran di Calais, Prancis

REPUBLIKA.CO.ID, Matahari belum terbit 24 Oktober lalu, tapi ribuan orang kompak bersiap diri. Mereka sepakat untuk mengakhiri hidup mereka di tenda-tenda bocor dan becek Calais, Prancis.

Yusef memasukkan selimut ke dalam tas punggung berlogo lembaga hasil donasi. Ia mengucapkan selamat tinggal pada tempat tidur buluknya.

Yusef adalah seorang apoteker. Usianya 35 tahun. Ia mengungsi dari Sudan beberapa bulan lalu dan terdampar di Calais. Impiannya adalah tiba di Inggris.

"Tapi mimpi itu berakhir di sini," kata dia. Jembatan menuju tempat impiannya kini tertutup. Tidak hanya Yusef, ratusan pengungsi lainnya ingin mencapai Inggris.

Prancis telah memutuskan untuk menutup kamp Calais yang berada di hutan. Sekitar 6.000-8.000 pengungsi akan dipindahkan. Mereka akan dikirim ke sejumlah lokasi, namun tetap di dalam Prancis.

Yusef mengatakan hidup di Calais sangat keras dan menyedihkan. Pindah dari sana saja, sudah cukup membahagiakan untuknya. Pria 35 tahun itu mengaku tambah lega karena Prancis memberi kesempatan pada migran untuk mengklaim suaka.

Yusef mengaku hanya tahu bahwa Prancis membuat parfum yang bagus. "Paris katanya adalah kota cinta, sekarang saya akan memulai perjalanan cinta," kata Yusef, dikutip Guardian.

Kepolisian dan otoritas Prancis juga telah bersiap sejak Senin kemarin. Mereka memandu ribuan migran yang diminta berbaris membentuk antrian.

Ada empat antrian yang mengular. Dewasa, keluarga, orang sakit dan anak-anak tanpa pengawasan. Mereka diatur dan dicatat. Para migran yang sebagian besar tidak tahu Prancis ini diberi peta Prancis.

Mereka diberi pilihan antara dua wilayah. Mereka memilih, diberi tanda kemudian diangkut dengan bus ke pusat penerimaan migran di tempat yang mereka pilih.

Mereka hanya diberitahu wilayah tujuan mereka, buka nama kota atau tempat semacam apa itu. "Saya akan menutup mata saya dan menunjuk di peta," kata Yusef.

Ia siap dengan semua kemungkinan. Kini harapannya hanya satu, memulai hidup baru. Yusef mengatakan ingin berbaur, memulai hidup baru dan berkontribusi.

Ia percaya pada Prancis untuk menjaga keamanannya. "Orang-orang kebanyakan salah sangka, kami bukan punya masalah ekonomi, kami melarikan diri dari kekerasan dan kediktatoran," kata dia.

Awad, pengungsi lain dari Sudan juga menyerah pada mimpinya pergi ke Inggris. "Saya cinta Inggris, tapi Inggris tidak mau pengungsi," kata dia.

Yused dan Awad hanya contoh mereka yang optimistis. Sejumlah orang tidak percaya bisa mengklaim suaka di Prancis semudah 'itu'. Mereka takut pada masa depan yang tak terduga.

Dua pria Afganistan yang menghabiskan beberapa bulan di Calais bingung apakah akan menerima bantuan Prancis atau pulang kembali ke Jalalabad. Muhammad (26 tahun) mengaku ingin menyerah. "Lebih baik mati di negara sendiri daripada di bawah truk di sini," kata dia yang beberapa kali menyelundup di truk pengangkut barang.

Ia membayar sejumlah besar uang pada penyelundup manusia agar bisa tiba di Eropa, sama seperti ribuan pengungsi lain. Hari pertama pengosongan kamp Calais berjalan cukup mulus. Hingga siang hari, 700 orang sudah dibawa pergi dengan bus. Sebagian besar hanya membawa pakaian seadanya dengan jaket pemberian badan amal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement