REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di sebuah kamar rumah sakit di Jakarta, seorang perempuan muda terlihat memar dan babak belur duduk di tempat tidur. Ia menceritakan bagaimana pacarnya memukulinya dengan parah, sampai ia pikir ia akan mati.
Memar yang masih segar terlihat jelas di lehernya, menandakan bagaimana kuatnya pacarnya tersebut saat mencoba mencekiknya. Sementara pendarahan dan lingkaran hitam di matanya serta hidungnya yang bengkak karena patah menunjukkan perlakuan yang menyebabkan perempuan itu takut mati.
Saori, usia 25 tahun, sebelumnya mengaku berani berdebat dengan pria yang dalam keadaan mabuk memukulnya. Tapi kali ini, ia mengatakan pria tersebut dalam keadaan sadar.
"Terjadi begitu cepat, saya takut. Akankah saya selamat? Dia memegang leher saya dan menonjok saya dua kali, itu yang saya ingat," katanya dalam wawancara dengan ABC di rumah sakit.
Pada 2016 ini, setidaknya ada 154 perempuan yang dibunuh di Indonesia, kebanyakan oleh suami dan pasangan mereka. Tahun 2015 lalu, lebih dari 316 ribu orang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Masalahnya adalah angka-angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia tidak diketahui pasti, sehingga sangat mungkin diremehkan. Indonesia tidak memiliki cara yang konsisten atau secara resmi mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan rumah tangga. Akibatnya menjadi tabu dan perempuan jadi jarang melaporkannya ke polisi.
Helga Inneke adalah salah satu korban selamat dari kekerasan dalam rumah tangga. Sekarang ia menjalankan kelompok 'Indonesia Inspirasi', LSM dengan tujuan memberdayakan perempuan agar bisa keluar dari hubungan yang penuh kekerasan.
"Kekerasan domestik di Indonesia lebih rumit karena terkait budaya dan budaya dibentuk oleh agama. Ketika kasus diterima polisi, diperlakukan seperti laporan biasa ke ketua RT atau RW, lalu dianggap sebagai masalah rumah tangga dan disarankan untuk berdamai," kata Helga.