REPUBLIKA.CO.ID, ADELAIDE -- Kuliner khas Mie Aceh kini semakin mendunia. Bahkan para penikmat jenis mi goreng yang sangat kaya bumbu tersebut, kini bisa menikmatinya di tengah suhu dingin di belahan selatan Australia seperti di Kota Adelaide.
Pasalnya, Fitriani Samidan, salah seorang mahasiswa S2 di Flinders University, sejak beberapa waktu terakhir sibuk berjualan mi Aceh di sela-sela kewajibannya sebagai mahasiswa sekaligus ibu dari dua orang anak.
Usaha kuliner rumahan yang dijalankan istri Wiwin Ibnu Hajar ini semakin laris. Bahkan, ketika diwawancara ABC, Fitri mengaku menerima telepon dari salah satu panitia Indofest, event tahunan yang memperkenalkan budaya Indonesia di Adelaide. Sang penelepon itu memesan 300 porsi Mie Aceh untuk acara Indofest di akhir September lalu.
Berikut perbicangan dengan Fitri, perempuan kelahiran Sigli pada 9 Juni, yang sehari-harinya di Indonesia bekerja sebagai guru Bahasa Inggris pada SMAN 1 Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.
Sejak kapan memulai usaha kuliner rumahan ini dan apa nama usahanya?
Selain karena saya memang hobby memasak, usaha rumahan ini sebenarnya juga tercetus karena banyaknya permintaan teman-teman yang cocok dengan masakan saya.
Awal saya 'memperkenalkan' hasil racikan tangan saya ke publik itu pada acara 'Multicultural Dinner' yang diselenggarakan oleh International Student Service (ISS) di sela-sela Introductory Academic Program (IAP) di Flinders University.
Sambutan panitia dan teman-teman internasional akan makanan Indonesia saat itu luar biasa dan sangat positif. Berbekal itu, beberapa teman meminta saya menyediakan katering harian dan berjualan menu Indonesia. Mengingat memasak adalah suatu keharusan di sini buat saya, tawaran tersebut pun saya terima.
Mengenai nama, sebenarnya tidak ada yang khusus, namun karena saya lebih dikenal dengan panggilan Mak Pit ketimbang nama kecil saya Fitri, jadilah akhirnya saya mengusung nama 'Dapur Mak Pit' untuk setiap momen yang berhubungan dengan jualan makanan atau saat berpartisipasi di beberapa festival kuliner di sini.
Bisa dijelaskan menu khas apa saja yang ditawarkan, beserta keunikan menu tersebut?
Biasanya untuk pre order yang biasanya perminggu/perforthnight, saya menawarkan menu khas Aceh seperti Mie Aceh dengan pilihan rasa daging atau seafood (udang).
Mi Aceh pada dasarnya hampir sama dengan mie goreng pada umumnya, namun kekhasannya terletak pada racikan bumbu yang lumayan banyak yang hampir menyerupai bumbu kari.
Menu andalan lainnya adalah Ayam Tangkap, hidangan ini berupa ayam goreng yang telah diungkep dengan bumbu plus campuran rempah dedaunan goreng seperti daun kari, daun jeruk, daun pandan dan rempah lainnya yang memberikan rasa dan harum yang khas.
Menu lainnya yang rutin saya tawarkan adalah Serabi Kuah dan sekarang merambah ke Singkong Thailand.
Bagaimana sambutan publik atas usaha anda ini?
Karena awal memulai usaha ini sebenarnya juga dari inisiatif teman-teman yang umumnya sudah familiar dengan masakan saya, jadi alhamdulillah sambutan publik sangat positif, terutama di kalangan mahasiswa.
Jadi, selain menyediakan katering harian untuk beberapa mahasiswa Indonesia di sini dan berjualan rutin, saya juga sering menerima pesanan besar untuk beberapa acara semisal aqiqahan, acara komunitas masyarakat Indonesia seperti pengajian, Multicultural Festival di kampus, Halal Bihalal dan sebagainya.
Berkat sambutan positif itu juga, Mi Aceh sebanyak 200 porsi menjadi menu makan siang peserta Konferensi Internasional Pelajar Indonesia (KIPI) di Adelaide awal tahun dan menjadi menu konsumsi untuk peserta pawai kontingen Indonesia di event Australia Day tahun lalu.
Di Adelaide, Anda sekolah atau memang sudah bekerja?
Saya di sini berstatus mahasiswa semester akhir di Flinders University, jurusan Master of Arts (TESOL) dan salah satu penerima Australia Awards Scholarships (AAS). Saat ini pula saya masih tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh, yang bertugas di SMA Negeri 1 Meureudu.
Mengapa menjalankan usaha seperti ini dan apa saja kendala yang dialami?
Seperti alasan sebelumnya, hobby memasak menjadi pemicu awal saya berkecimpung di dunia kuliner ini. Ditambah lagi ini adalah luar negeri yang tidak mudah mendapatkan warung makan atau warteg seperti halnya di Indonesia dan kebiasaan buruk saya mengkonversi harga ke rupiah yang tidak jarang bikin shock kalau makan di luar.
Jadilah saya berpikir 'daripada menghabiskan uang, kenapa tidak menghasilkan uang?' Secara teknis tidak ada kendala berarti, hanya saja saya harus pintar membagi waktu antara menjadi mahasiswa, istri, dan ibu dari 2 anak, sehingga ketika sibuk di dapur pun, tidak ada yang terabaikan.
Banyak sekali pengalaman berkesan selama menjalankan aktivitas ini, di antaranya pengetahuan kuliner saya semakin bertambah banyak seiring pesanan yang berbeda-beda dari pelanggan.Kisah menarik lainnya saat salah satu panitia warga Australia bolak-balik tak henti mencomot Rendang bikinan saya dan berbisik meminta resep ke saya.
Namun yang paling berkesan di antara semuanya adalah saat saya ikut meramaikan Multicultural Festival yang diselenggarakan oleh FUSA (Flinders University Student Association) tahun lalu dan tahun ini. Stall Indonesia selalu menjadi stall favorit dengan pengujung terbanyak. Alhasil, di acara tahun ini saya berhasil menjual 17 kg Rendang (saat itu saya tawarkan menu Rice+Rendang+Capcay), puluhan porsi mi bakso, ratusan klepon, dan bakwan. Itu adalah pengalaman yang tak akan pernah terlupakan bagi saya.
Darimana memperoleh keterampilan memasak, apakah pernah sekolah masak?
Ini pertanyaan agak sulit dijawab karena saya tidak tahu dari mana ketrampilan memasak ini datang. Banyak juga teman yang bertanya demikian, dan tak jarang dari mereka yang beranggapan saya memang punya usaha kuliner semacam resto di Aceh.
Sepanjang hidup, saya belum pernah ikut sekolah memasak. Yang ada dulu saya sering memperhatikan dan membantu mamak (ibu-red) saya masak dan bertanya bumbu-bumbu yang dipakai untuk masakan tertentu.Ditambah, keluarga kami dulu punya warung kopi Aceh dan mamak bikin beraneka kue basah untuk dijual di warung tersebut. Di lingkungan sekitar tempat saya tinggal, mamak juga sering diundang untuk memasak di acara hajatan semacam sunatan, kawinan, dan lainnya.
Di keluarga besar kami, mamak adalah chef terbaik yang masakannya tak pernah mengecewakan. Jadi saya pikir bakat ini genetik dari mamak saya. Semenjak sadar saya punya passion memasak (itu ketika saya harus tinggal jauh dari orang tua karena alasan kuliah, tahun 2003), saya semakin rajin mencoba menu-menu baru berbekal resep dari berlangganan tabloid SAJI.
Bagaimana mendapatkan bahan-bahan makanan untuk menu khas Indonesia atau Aceh yang tentunya tak semudah di Tanah Air?
Awal keberangkatan saya ke sini, saya sempat khawatir dengan kelangkaan beberapa bumbu khas Aceh seperti daun kari yang notabene dipakai untuk hampir semua masakan Aceh, u lheue (kelapa gongseng), Asam Sunti dan beberapa bumbu khas lainnya.
Jadinya, pas berangkat ke sini awal tahun lalu, koper saya selain dipenuhi dengan pakaian dan beberapa barang-barang penting lainnya, bumbu dapur seperti ketumbar, pekak (bunga lawang), jinten, kunyit bubuk, asam sunti, pala, kayu manis, kapulaga juga ikut menemani perjalanan saya ke negeri kangguru ini. Hasilnya, saya harus rela diperiksa lebih lama oleh petugas di Sydney airport pas kedatangan hari itu.
But guess what? Semua bumbu yang saya bawa dari Aceh (kecuali Asam Sunti) bisa dengan sangat mudah didapatkan di sini. Bumbu-bumbu dapur tersebut dengan mudah sekali didapatkan di toko Indian atau Asian grocery. Belum lagi keterkejutan saya hilang, saya makin terpesona demi mendapati daun kari fresh berjejer di rak rempah dedaunan toko tersebut, yang bahkan di Jakarta saja sangat sulit saya dapatkan daun tersebut semasa tinggal 6 bulan untuk mengikuti Pre Departure Training (PDT) di sana.
Jika kembali ke Tanah Air apakah akan meneruskan usaha ini?
Banyak teman menyarankan saya buka semacam rumah makan atau restoran ketika nanti balik ke Aceh. Malah ada teman yang setengah memaksa meminta saya buka restoran di Bandung atau Jakarta (ha..ha..ha..).
Meski memperluas usaha semacam itu bukanlah hal yang mustahil, namun saya harus jujur bahwa saya juga harus melihat peluang, pangsa pasar, menambah pengetahuan seputar kuliner dan manajemen skill yang saya rasa masih sangat kurang.Jujur, meski niat tersebut ada, untuk sekarang lebih memilih menjawab 'kita lihat nanti' saja