REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemilihan umum (pemilu) presiden di Amerika Serikat (AS) akan berlangsung 8 November. Tak sedikit warga di Negeri Paman Sam yang masih dihadapkan dengan kebimbangan diantara dua kandidat pemimpin di negara tersebut, yaitu Hillary Clinton dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik.
Tak terkecuali dengan warga keturunan Timur Tengah yang menjadi warga AS. Banyak dari mereka yang salah satunya menetap di Deadborn, wilayah pinggiran Detroit, negara bagian Michigan merasa bingung dengan kampanye dua calon presiden.
Warga Timur Tengah yang tinggal di Dearborn, Michigan, Amerika Serikat yang kebanyakan berasal dari Lebanon, Suriah, Palestina, Yaman, dan Irak itu mengatakan harus menentukan pilihan dengan yakin.
Seorang imam di Pusat Islam Amerika Deadborn bernama Ibrahim Kazerooni mengatakan pemilu presiden kali ini harus disikapi dengan serius. Tidak boleh ada satupun dari komunitas warga keturunan Timur Tengah di negara itu yang bersikap apatis. "Kami harus serius menghadapi pemilu yang menentukan kehidupan kami di negara ini," ujar Kazerooni, dilansir Aljazeera.
Suara dari warga keturunan Timur Tengah di AS menjadi sangat penting. Diperkirakan terdapat 500 ribu orang dari komunitas tersebut yang tersebar di seluruh negara bagian, dilaporkan dalam data dari Arab American Institute.
Rachid Elabed, seorang manajer dari kelompok komunitas nirlaba Arab-Amerika, ACCESS mengatakan beberapa bulan terakhir telah meyakinkan anggota mereka untuk memberi suara dalam pemilu AS. Termasuk kepada warga Timur Tengah lainnya, dengan mengatakan bahwa partisipasi dalam pemilihan ini sangatlah penting.
Banyak pemilih di AS yang merasa terasing dengan retorika kampanye yang menargetkan komunitas Arab dan imigran. Seperti Kazeeroni yang mengatakan selama ini komunitas mereka menjadi korban retorika kampanye Trump dan timnya.
Selama ini, miliarder itu kerap melontarkan pernyataan yang memojokkan Muslim dan imigran di negara itu. Bahkan, Trump juga mengancam untuk mengusir mereka semua serta tak mengizinkan satupun Muslim untuk datang ke AS.
Pria berusia 70 itu juga mengatakan akan membangun dinding kuat dan besar guna mencegah kedatangan pengungsi dari Timur Tengah ke AS. Sementara, Clinton menilai adanya umat Muslim di negara itu justru akan menjadi 'mata dan telinga' untuk menjaga keamanan.
Kazerooni mengatakan, Trump harus dicegah dari kemenangan dengan cara memilih Clinton. Ia menilai semua orang yang memiliki akal sehat pasti akan memilih perempuan berusia 68 itu. "Clinton adalah satu-satunya pilihan yang dapat kami pilih. Warga yang cerdas dari komunitas kami akan memilihnya," jelas Kazerooni.
Asha Noor, salah satu pekerja di ACCESS menilai retorika kampanye Trump memberi motivasi kepada warga Timur Tengah di AS. Mereka menjadi lebih berani untuk menghadapi pandangan tidak toleran, yang memicu ketakutan di tengah masyarakat.
"Ada kemungkinan sikap anti-Islam akan terjadi di AS setelah pemilihan karenanya kami harus memerangi penindasan pemilih potensial dengan menentukan pilihan," jelas Noor.
Meski demikian, bukan berarti retorika kampanye Trump membuat pemilih Muslim maupun Timur Tengah di AS enggan memberikan suara terhadapnya. Dalam sebuah jajak pendapat Oktober lalu dari Zolby Analytics, 12 persen masyarakat Muslim Arab yang mengatakan akan memilih miliarder itu.
"Saya pikir apa yang ada dalam pemikiran Trump seperti hendak memberi banyak lapangan pekerjaan dan memerangi terorisme adalah tindakan tepat," ujar seorang imigran dari Irak bernama Abdullah Aibi.
Sementara itu, warga keturunan Arab lainnya, Talal Mohammad mengatakan tidak akan ada banyak perbedaan dari kedua kandidat presiden AS. Baik Clinton maupun Trump memiliki sisi baik dan buruk. "Namun saya sangat yakin tidak akan memilih Trump," pria berusia 33 tersebut.
Puti Alma