REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Donald Trump akhirnya terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-45 setelah mengalahkan Hillary Clinton, Selasa (8/11) waktu AS atau Rabu (9/11) WIB. Kemenangan yang cukup mengejutkan dunia ini datang dari warga AS yang selama ini merasa sangat tidak puas atas kinerja Pemerintahan Barack Obama.
Pada polling yang digelar USA Today usai pencoblosan Selasa di sejumlah negara bagian mengungkapkan 46 persen pemilih mengaku sangat kecewa atas kinerja Obama. Sebanyak 74 persen pemilih menyatakan marah atas apa yang sudah dilakukan Pemerintahan Obama kepada mereka.
Orang-orang kecewa dan marah ini, menurut USA Today, kemudian mendatangi tempat-tempat pemilihan di seluruh negara bagian dan memberikan kejutan besar kepada dunia. Trump, pengusaha properti kaya asal New York, pun menjadi pilihan utama para pemilih ini, yang selama masa kampanye polling menunjukkan kemenangan untuk Hillary.
Para pemilih ini juga diajukan pertanyaan mengenai situasi di Amerika saat ini apakah berjalan ke arah yang benar atau salah. Ada 67 persen pemilih menyatakan keadaan sekarang berada di jalur yang salah dan 25 persen pemilih menjawab berada di jalur yang benar.
Terkait penghasilan, 76 persen pemilih menyatakan kondisi keuangan mereka saat ini jauh lebih buruk dibandingkan empat tahun lalu. Ada 19 persen menyatakan penghasilan mereka jauh lebih baik.
Dari catatan Reuters, pada kuartal ketiga 2016 pertumbuhan ekonomi AS mengalami kenaikan signifikan menjadi 2,9 persen. Angka ini berada jauh di atas prediksi banyak kalangan yang hanya menyataklan ekonomi AS hanya 2,5 persen.
Kenaikan ekspor AS dan peningkatan investasi di dalam negeri menjadi mesin pendorong utama pertumbuhan ini. Kenaikan konsumsi rumah tangga AS juga ikut mendorong terangkatnya kinerja ekonomi, meski secara persentase dorongan itu tidak terlalu tinggi.
Pada sisi lain, Pemerintahan Obama memang menghadapi masalah serius terkait tenaga kerja di mana jumlah pengangguran di AS masih tergolong tinggi. Secara umum Obama sebetulnya mampu membuka lapangan kerja baru yang ditandai dengan rendahnya permintaan tunjangan pengangguran.
Versi Departemen Tenaga Kerja AS, angka pengangguran di AS turun dari 10 persen menjadi 4,9 persen selama pemerintahan Obama. Namun, banyak warga AS merasa aneh dengan data itu karena pada kenyataannya banyak orang AS tidak bisa bekerja.
Donald Trump, saat masih menjadi kandidat presiden AS, termasuk yang tidak percaya dengan data tersebut. Menurut Trump, angka pengangguran di AS seharusnya jauh lebih tinggi, hampir mencapai 10 persen, tidak mungkin cuma 4,9 persen. Trump menegaskan pemerintah tidak menghitung orang-orang yang seharusnya masuk kategori penganggur tetapi dianggap sebagai kaum pekerja.