REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Korea Utara (Korut) tidak peduli dengan presiden baru Amerika Serikat, kata diplomat senior asal Pyongyang saat melawat ke markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Selasa (15/11).
Pernyataan itu menanggapi kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden menggantikan posisi Barack Obama. Direktur Urusan Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan, Kim Yong Ho yang berbicara kepada wartawan setelah komite Mahkamah Umum PBB, menyetujui rancangan resolusi yang mengecam kekerasan HAM di negara-negara Asia.
"Kami tidak peduli dengan siapa pun yang akan menjadi presiden AS. Masalah lebih penting adalah apakah AS punya niat politik mencabut kebijakannya yang cukup mengganggu DPRK (Korut)," kata Kim.
Korut kerap menuduh AS dan Korea Selatan (Korsel) mempersiapkan armadanya untuk berperang. Kedua negara itu menyelenggarakan latihan perang gabungan tiap tahunnya.
AS dan Korsel juga berencana memasang alat pertahanan antinuklir Terminal High Altitude Area Defence (THAAD) di wilayah selatan. THAAD dipasang untuk mengantisipasi ancaman nuklir dan roket dari Korut.
Trump mengatakan Mei lalu, ia bersedia berunding dengan pimpinan Korut, Kim Jong Un untuk menghentikan program nuklir Pyongyang. Ia menawarkan pendekatan berbeda terhadap negara tertutup itu.
Namun jelang pemilihan presiden 8 November, seorang penasihat Trump mengatakan bulan lalu ia tidak melihat Trump akan menemui pimpinan Korut saat menjadi presiden, baik dalam jangka pendek atau menengah. Korut telah menerima sanksi dari PBB sejak 2006. Dewan Keamanan PBB Maret lalu meningkatkan hukumannya, hingga membuat negara miskin itu kian tertutup.
Langkah itu dilakukan setelah Korut menggelar uji nuklir keempat Januari lalu dan peluncuran roket jarak jauh, Februari. Sejak uji nuklir kelima dan keenam dua bulan lalu, AS dan China - sekutu dekat Korut telah berunding merancang draf resolusi baru untuk menghukum negara tertutup itu.