Kamis 17 Nov 2016 09:39 WIB

Ini Analisis Penyebab Kemenangan Trump di Pilpres AS

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Winda Destiana Putri
Presiden terpilih AS Donald Trump.
Foto: AP
Presiden terpilih AS Donald Trump.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Islamic Center New York sekaligus Presiden Nusantara Foundation, Ustaz Shamsi Ali, mempunyai beberapa analisa terkait alasan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Pertama, dunia sedang dilanda demam perubahan sebagai bagian dari hukum alam. AS tidak terbebas dari itu.

Masyarakat Amerika telah lama merindukan perubahan institusional itu. "Barack Obama menjadi harapan saat itu. Sayang, secara institusi Obama masih harus bermain mengikut arus tradisi lama," kata Shamsi, semalam. Kongres dan Senat keduanya dikuasai oleh partai oposisi sehingga berbagai kebijakan yang menjanjikan itu ditentang, atau minimal kembali diobok-obok oleh lawan politiknya.

Sayang, kata dia, keiginan besar untuk sebuah perubahan itu tertangkap oleh seorang calon, bahkan dua calon, yang tidak relevan dengan semangat perubahan itu sendiri. "Yang satu jelas tidak kapabel menurut pengamatan mayoritas. Tapi yang satu lagi dianggap masih mewakili sistem konvensional," ujarnya. Keterpilihan Trump dalam hal ini hanya karena dilihat sebagai wajah baru, yang sedikit banyak mewakili perubahan itu. Minimal pada tataran kasat mata, tanpa substansi.

Kedua, AS memang mengalami perubahan demografi besar. Kaum putih yang kerap kali merasa penduduk asli AS secara keliru semakin tergeserkan. Penduduk AS lainnya, yang kerap kali dilabelkan sebagai imigran semakin bertambah. Imigran dengan persentasi terbesar adalah etnik hispanik.

Shamsi menyebut di satu sisi AS masih membuka diri untuk hadirnya imigran-imigran baru, termasuk mengakomodir para pengungsi dari negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim, khususnya Irak dan Suriah. Sehingga imigran dari masa ke masa semakin merubah AS secara demografi yang berimplikasi kepada sisi kehidupan lainnya.

Termasuk ekonomi, politik, tatanan sosial, dan bahkan agama dan budaya. "Kenyataan di atas menjadikan mereka yang merasa native American alias orang asli Amerika (baca: orang putih) menjadi semakin gelisah dan khawatir (fobia). Dan phobia non white ini pula yang dimainkan oleh tim kampanye Trump," ujarnya.

Ketiga, di antara ketakutan yang dipergunakan oleh tim kampanye Trump adalah kenyataan bahwa upaya mengekang perkembangan Islam pascaperistiwa 11 September gagal total. Dia menyebut ratusan juta dolar AS dihabiskan untuk menjegal laju perkembangan Islam, dengan membiayai kampanye Islamofobia dan sentimen anti-Islam tidak berhasil memperlambat perkembangan agama ini. "Saya pribadi termasuk saksi terdepan akan realita ini. Ratusan orang-orang Amerika telah menerima Islam melalui usaha-usaha sederhana yang kita lakukan. Sekali lagi, bukan mengislamkan, tapi menyampaikan Islam apa adanya dan dengan wajahnya yang rahmatan lil-alamin itu," kata dia.

Shamsi menyebut perkembangan Islam tidak saja pertumbuhannya secara kuantitas, namun dengan merambah seluruh komponen kehidupan bangsa AS, dari politisi, pendidik, pekerja profesional, hingga pebisnis dan pekerja biasa. Muslim berani mendobrak dinding pembatas dan menjadi bagian integral yang dahsyat dalam masyarakat Amerika. Menurut dia, kenyataan itulah yang menjadikan sebagian masyarakat AS semakin resah dan 'ketakutan'. 

Di satu sisi Islam berkembang cepat. Namun di sisi lain, ketakutan dan kemarahan itu juga semakin meninggi. Ketakutan dan kemarahan ini pulalah yang dimaikankan oleh tim kampanye Trump. "Saya kira ini kelihaian dan kecepatan menangkap realita di masyarakat sehingga mereka berhasil 'menjual' Islamofobia sebagai alat kampanye dan berhasil," ujarnya.

Keempat, kemenangan Barack Obama di 2008 lalu menjadi luka tersendiri bagi segmen tertentu masyarakat. Kendati ibunya keturunan warna kulit putih, keturunan Irlandia, dengan ayah berkulit hitam, non-American dan berbangsa Kenya menjadikannya terpandang non-mainstream, minoriti yang dinilai harusnya tidak memenangkan pertarungan itu.

Kenyataannya, Obama memenangkan pemilihan itu secara mayoritas. Bahkan pada pada babak penyisihan untuk tiket partai Demokrat, politikus junior yang belum berpengalaman itu mengalahkan politisi ulung dengan dukungan pembesar partainya, Hillary. Menurut Shamsi, keterpilihan Obama menumbuhkan 'dendam politik' di kalangan masyarakat yang mempersepsikan diri sebagai mayoritas.

Trump sendiri masuk dalam golongan ini sehingga sejak lama mencari cara menjegal Obama untuk maju pada term kedua pemilihan Presiden AS. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan mempertanyakan keabsahan akta lahir Obama. Dendam politik inilah yang diusung oleh tim kampanye Trump. "Mereka menampilkan seolah kaum putih tergeser dari kekuasaan politik Amerika dengan kemenangan orang yang berkulit hitam pertama kalinya dalam sejarah negara ini. Maka masanya masyarakat putih kembali merebut negara ini," ujarnya. Ini pula yang melandasi tema kampanye Trump Make Amerika Great Again. Artinya dengan kembalinya kulit putih di pucuk kekuasaan AS kembali jaya sebagaimana masa lalunya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement