Jumat 18 Nov 2016 10:41 WIB

Donald Trump Pertimbangkan Sistem Pelacakan Muslim di AS

Rep: Puti Almas/ Red: Agus Yulianto
Muslim Amerika
Muslim Amerika

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump tengah mempelajari adanya proposal agar Muslim dan orang asing lainnya yang menetap di negara itu dapat terlacak dengan mudah. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk memenuji janji kampanyenya.

Menurut anggota tim transisi kepresidenan Trump, Kris Kobach, saat ini penasihat kebijakan tengah menyusun proposal tersebut agar nantinya dapat dipertimbangkan oleh presiden AS ke-45 itu. Sistem semacam ini sebelumnya pernah diberlakukan di Negeri Paman Sam, namun ditangguhkan pada 2011.

Pertama kalinya pemberlakukan sistem pelacakan Muslim dan warga asing terjadi di AS karena serangan 11 September 2001 lalu. Kebanyakan warga pendatang dari Timur Tengah diminta untuk memindai sidik jari.

Sistem tersebut khususnya berlaku kepada seluruh pria Muslim yang berusia di atas 16 tahun. Kebanyakan dari mereka datang ke AS dengan menggunakan visa kerja dan pelajar.

Namun, sistem itu tidak diberlakukan lagi setelah ada program pendataan kunjungan warga asing lainnya. Dikenal dengan nama US-VISIT, yang berfungsi mengambil alih beberapa tugas pengumpulan data di terminal kedatangan bandar udara dan pelabuhan.

Kobach sebelumnya pernah menyusun sistem pelacakan Muslim saat masa pemerintahan Bush. Ia berharap, Trump memberlakukan kebijakan pendaftaran tersebut, segera setelah pelantikan pada 20 Januari 2017.

Trump dalam kampanye kerap menyerukan rencana untuk mengusir Muslim dan tak mengizinkan satu pun dari kalangan umat Islam masuk ke AS. Miliarder itu beralasan rentannya kelompok radikal dan teroris yang terkait dengan agama ini.

Estimasi menunjukkan, saat ini terdapat 3,3 juta Muslim yang tinggal di AS. Namun, dalam kurun waktu 10 tahun, ada sekitar sembilan dari mereka yang tewas karena serangan radikal yang membawa nama Islam. Sementara, kelompok sayap kanan radikal juga melakukan tindakan itu, dengan jumlah korban tewas lima orang.

Kelompok advokasi Muslim Amerika mengatakan, kebijakan pendaftaran yang ingin diberlakukan kembali di AS sangat tidak efektif. Terlebih, sistem itu sangat diskriminatif karena hanya menargetkan individu berdasarkan agama dan etnis mereka.

sumber : ib times
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement