Sabtu 19 Nov 2016 07:17 WIB

Pendukung Trump Nyatakan Kembalinya Era Kamp Konsentrasi AS-Jepang

Rep: Puti Almas/ Red: Ani Nursalikah
Presiden terpilih Donald Trump
Foto: AP/Evan Vucci
Presiden terpilih Donald Trump

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pendukung terkemuka Donald Trump, Carl Higbie, mendapatkan kecaman setelah menyatakan era kamp interniran atau konsentrasi Jepang pada Perang Dunia II antara Amerika Serikat (AS) dan Jepang dapat terulang kembali. Hal ini terjadi dengan adanya sistem pendaftaran imigran yang sedang dipertimbangkan untuk diberlakukan kembali di Negeri Paman Sam, khususnya kepada Muslim.

Higbie yang juga merupakan mantan juru bicara sebuah komite penggalangan dana independen, Great America PAC juga mengatakan sistem registrasi untuk imigran dari negara-negara yang terkenal dengan kelompok teroris akan terjadi seperti kamp interniran. Meski demikian, hal itu dilakukan semata-mata untuk melindungi AS dari berbagai ancaman.

"Kamu sudah melakukannya berdasar ras, agama, dan wilayah. Kami pernah melakukannya dengan Iran beberapa waktu lalu dan Jepang selama Perang Dunia II," ujar Higbie, dilansir The New York Times, Kamis (17/11).

Kamp interniran atau konsentrasi Jepang dibuat untuk menahan penduduk sipil atau tawanan militer. Banyak dari orang-orang yang ditahan mendapat perlakuan keras dan bengis, serta kekurangan makanan, air, dan obat, hingga pada akhirnya menyebabkan kematian.

Kelompok masyarakat Muslim AS menyatakan keprihatinan terhadap pernyataan Higbie. Hal itu dinilai sangat menyedihkan dan membuat Amerika kembali dalam bagian gelap dari sejarah.

"Ini hanya akan membuat Amerika kembali ke salah salah satu bab paling mengerikan dan gelap dari sejarah dan itu sangat menyedihkan," ujar juru bicara Dewan Hubungan Amerika-Islam, Robert S McCaw.

McCaw juga mengatakan tindakan semacam itu tak akan tepat bagi siapa pun, terlebih Muslim. Kemudian kekhawatiran juga datang dari seorang keturunan Jepang di AS, Mark Takano. Ia juga memberi komentar pernyataan Higibie mencerminkan suatu kebangkitan rasialisme dan xenofobia yang berbahaya di negara adidaya itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement