REPUBLIKA.CO.ID, LONDON-- Para pemimpin Muslim Inggris mengaku putus asa menghadapi pertumbuhan islamofobia di Inggris. Anggota Parlemen Inggris, Liam Byrne mengatakan pemerintah harus memiliki program yang tepat dan mampu menjalankan ide tersebut dalam menghadapi kelompok ekstremis, seperti ISIS.
“Ribuan militan ISIS akan kembali ke Eropa, termasuk Inggris setelah jatuhnya Mosul dan menggunakan retorika inflamasi Donald Trump untuk merekrut anggota baru,” ujar Liam Byrne seperti dilansir The Guardian, Jumat (18/11).
Dalam bukunya yang berjudul Black Flag Down: Counter-Extremism, Defeating ISIS and Winning the Battle of Ideas, Byrne mengatakan setiap strategi baru harus mencerminkan pelayananan kemanan yang berlaku saat ini. Hal ini untuk menolak klaim David Cameron yang mengatakan ada penghubung antara agama dan ekstremisme. Teori ini ia sebut dengan conveyor belt.
Anggota Parlemen untuk Birmingham Hodge Hill, yang mewakili konstituen Muslim terbesar di Inggris ini, juga memperingatkan terhadap retorika yang dapat menimbulkan perselisihan, seperti mengklaim adanya benturan peradaban yang berlangsung antara Islam dan Barat.
Menurutnya, banyak Muslim Inggris merasa dikelilingi oleh supremasi. Baik itu supremasi nasional maupun supremasi agama. Supremasi nasional menyatakan Muslim tidak bisa menjadi orang Inggris dan Muslim. Dan supremasi agama yang mengatakan mereka tidak bisa menjadi seorang Muslim dan Inggris.
Dia menyarankan adanya elemen lain dalam strategi kontra-ekstremisme yang baru, misalnya adanya hak yang mencakup kebebasan berbicara dan menyampaikan pesan damai. Selain itu, juga dapat diberlakukan pendidikan karakter di sekolah-sekolah dan kurikulum sejarah.