REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Warga beragama Kristen, Yahudi, dan Budha berkumpul bersama umat Islam selepas sholat Jumat di sebuah Masjid di Washington DC. Mereka memberikan pesan penting terhadap Presiden AS terpilih, Donald Trump, terkait solidaritas yang terjalin kuat antar umat beragama di AS.
Para pemimpin lintas agama yang turut hadir menyatakan akan bersatu mendukung Muslim AS dan menentang Islamofobia. Mereka juga meminta Trump untuk mengecam aksi kejahatan anti-Muslim, yang melonjak hingga 67 persen pada 2015 menurut laporan FBI.
"Kita harus berjanji tidak akan ada lagi yang membuat warga Amerika takut, bukan fanatisme, bukan pemerintah, bukan Presiden Amerika Serikat. Tidak akan ada yang bisa membuat anak-anak di komunitas ini takut,"ujar Presiden Advokasi Interfaith Alliance, Rabbi Jack Moline, di depan Masjid Muhammad, Washington DC, Jumat (18/11), dikutip dari The Huffington Post.
Setelah berbicara di depan media, para pemimpin lintas agama menghadiri pertemuan di dalam Masjid. Masjid Muhammad yang juga dikenal dengan sebutan Masjid Bangsa ini hanya berlokasi dua mil dari rumah yang akan ditempati Trump di Pennsylvania Ave.
Interfaith Alliance digagas oleh Komunitas Shoulder to Shoulder, yang membuat koalisi lebih dari 20 agama nasional di AS. Seluruh anggota komunitas berjanji untuk menghilangkan sentimen negatif terhadap Muslim. Mereka membuat sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh wakil-wakil dari penganut Reconstructionist dan Yahudi Reformasi, serta Evangelis, Katolik, Baptis, Lutheran, Presbyterian, dan aliran Kristen lainnya. Para pemimpin dari masing-masing agama mengatakan ingin melihat Trump menepati janjinya untuk menjadi Presiden bagi seluruh warga AS.
"Kami, dari kelompok keagamaan bangsa yang besar ini, bahu membahu satu sama lain dalam mendukung saudara-saudara Muslim. Tidak ada yang harus takut untuk keselamatan mereka sendiri, hanya karena cara berpakaian mereka, cara berdoa mereka atau bagaimana mereka tiba," jelas Moline.
Setelah Trump dinyatakan memenangkan pemilu Presiden AS, Trump telah memilih sejumlah staf yang memiliki pandangan negatif terhadap Islam. Ia memilih Senator Jeff Sessions, yang melarang umat Islam datang ke AS, sebagai Jaksa Agung.
Trump juga menunjuk Letnan Jenderal Michael Flynn dari Angkatan Darat sebagai penasihat keamanan nasional. Flynn dikenal mendukung Trump untuk membuat pendaftaran bagi imigran Muslim dan pendataan bagi Muslim AS.
Baru-baru ini Juru Bicara Tim Transisi Trump, Jason Miller, mengatakan Trump tidak pernah meminta pendataan warga AS berdasarkan agamanya. Hal itu bertentangan dengan pernyataannya dalam sebuah video yang bersikeras ingin memisahkan Muslim dengan warga lainnya. "Presiden terpilih Donald Trump tak pernah meminta untuk mendata seseorang berdasarkan agamanya. Ini merupakan hal yang tak dibenarkan," ujar Miller, Jumat (18/11).
Video Trump tersebut mendapat kecaman dari banyak pihak termasuk dari Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR). Lawan-lawan politik Trump seperti Jeb Bush dan Hillary Clinton juga mengutuknya karena Trump telah menyebarkan Islamofobia.
Sebelumnya, anggota Tim Transisi Trump, Kris Kobach, sempat mengatakan Pemerintahan Trump akan segera membuat sistem pendataan Muslim AS. Sebelumnya pendataan pernah dilakukan pada Pemerintahan Presiden George W Bush.
Presiden People for The American Way, Michael Keegan, mengatakan Partai Republik harus mencegah upaya pendataan Muslim yang akan dilakukan Trump dan timnya. Hal tersebut merupakan kesalahan besar jika harus menargetkan kelompok Muslim dan kelompok minoritas lainnya. "Pendataan Muslim di Amerika merupakan kebijakan yang melanggar hukum. Selain itu kebijakan ini sangat tidak mencerminkan nilai-nilai Amerika," ujar Keegan.