Selasa 22 Nov 2016 12:44 WIB

Lebih dari 1.000 Rumah Muslim Rohingya Rata dengan Tanah

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Citra satelit Digital Globe yang dirilis Human Rights Watch, 21 November 2016 menunjukkan Desa Wa Peik, Maungdaw District, Myanmar dimana etnis Rohingya tinggal pada 2014 (atas) dan setelah dihancurkan (bawah) pada 10 November 2016.
Foto: DigitalGlobe via AP
Citra satelit Digital Globe yang dirilis Human Rights Watch, 21 November 2016 menunjukkan Desa Wa Peik, Maungdaw District, Myanmar dimana etnis Rohingya tinggal pada 2014 (atas) dan setelah dihancurkan (bawah) pada 10 November 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, SITTWE -- Lebih dari 1.000 rumah Muslim Rohingya telah diratakan dengan tanah oleh militer Myanmar sejak Oktober lalu. Informasi tersebut didapatkan dari citra satelit yang dipantau langsung oleh Human Rights Watch.

Pasukan militer melakukan penghancuran rumah di sepanjang perbatasan Myanmar-Bangladesh. Wilayah itu menjadi tempat menetap kelompok minoritas Rohingya, yang tidak memiliki kewarganegaraan.

PBB mengatakan sebanyak 30 ribu orang mengungsi akibat kekerasan yang dilakukan militer. Puluhan orang tewas setelah para tentara mengerahkan helikopter tempur.

Militer Myanmar telah menewaskan hampir 70 orang dan menangkap sekitar 400 orang dalam enam hari. Aktivis HAM mengatakan, jumlah korban sebenarnya bisa jauh lebih besar.

Saksi mengemukakan, para tentara Myanmar tidak hanya membunuh Muslim Rohingya, mereka juga memperkosa perempuan, menjarah, dan membakar rumah. Seorang pria Rohingya bernama Salaman, mengatakan ia membantu menguburkan mayat seorang pria dan seorang wanita yang ditembak tentara di Desa Doetan, pada Sabtu (19/11) lalu.

"Tentara datang ke Sesa Doetan di malam hari. Sebagian besar pria melarikan diri karena mereka takut ditangkap dan disiksa. Kemudian mereka (tentara) mulai menembak dan dua tewas," katanya, dikutip dari Dhaka Tribune.

Chris Lewa, Aktivis HAM dari Arakan Project, menambahkan dua bayi ditemukan hanyut saat warga mencoba melintasi sungai.

Pemerintah Myanmar menolak mengizinkan organisasi internasional melakukan penyelidikan terkait insiden tersebut. Juru bicara Kepresidenan, Zaw Htay bahkan menolak informasi yang disampaikan melalui pantauan citra satelit dan membantah laporan kematian di Desa Doetan.

"Baik pemerintah dan militer sangat melarang pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap perempuan dan anak," ujar Htay.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement