Kamis 24 Nov 2016 07:45 WIB

Muslim Rohingya Seberangi Sungai ke Negara Tetangga

Rep: Kabul Astuti/ Red: Winda Destiana Putri
Anak-anak pengungsi Rohingya mengikuti pelajaran di sekolah kamp pengungsi Kutupalang di Cox Bazar, Bangladesh.
Foto: Reuters
Anak-anak pengungsi Rohingya mengikuti pelajaran di sekolah kamp pengungsi Kutupalang di Cox Bazar, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGLADESH -- Seiring merebaknya kekerasan di Myanmar, Muslim Rohingya berbondong-bondong datang ke negara tetangga Bangladesh, pekan ini. Beberapa orang dari rombongan pengungsi dikhawatirkan hilang setelah perahu mereka tenggelam dalam upaya melarikan diri dari kekerasan di negaranya.

Kekerasan yang dipicu masalah etnis dan agama ini telah menewaskan sedikitnya 86 orang dan menelantarkan 30 ribu orang pada akhir tahun ini. Beberapa pengungsi Rohingya dinyatakan hilang sejak Selasa (22/11) setelah rombongan mereka menyeberangi Sungai Naaf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh.

"Ada sekelompok orang dari desa kami yang menyeberangi sungai dengan perahu untuk datang ke sini, tapi tiba-tiba perahu tenggelam," kata Humayun Kabir, ayah dari tiga anak yang ikut mengungsi ke Bangladesh, dilansir dari Reuters, Kamis (24/11).

Meskipun banyak dari mereka yang bisa berenang dan mampu mencapai tepi sungai, imbuh Humayun, tujuh orang tetap hilang. Tak terkecuali, anak-anaknya. Mereka yang berhasil masuk Bangladesh mencari perlindungan di kamp-kamp pengungsian atau rumah-rumah penduduk.

Kekejaman pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya memasuki babak baru akhir tahun ini. Pasukan Myanmar diterjunkan ke negara bagian barat Rakhine di sepanjang perbatasan dengan Bangladesh menyusul serangan terhadap tiga pos perbatasan pada 9 Oktober 2016 yang menewaskan sembilan polisi.

Warga Rohingya dan kelompok hak asasi manusia menyatakan bahwa pasukan penjaga militer dan perbatasan sudah memperkosa sejumlah perempuan Rohingya, membakar rumah-rumah, dan membunuh warga sipil selama operasi di sana. Namun, pemerintah Myanmar dan militer menyangkal tuduhan tersebut.

Kekerasan ini adalah yang paling serius sejak tewasnya ratusan orang dalam bentrokan komunal di Rakhine pada tahun 2012, sekaligus menimbulkan dilema besar bagi pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi. Aung San Suu Kyi dikecam lantaran tidak bersikap tegas terhadap kekerasan etnis besar di negaranya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement