Jumat 25 Nov 2016 12:43 WIB

Rohingya: Bagaimana Kami Bisa Pulang? Mereka akan Membunuh Kami

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ani Nursalikah
Pengungsi etnis Rohingya yang tersisa beraktivitas dengan anak anak mereka di rumah Shelter, Blang Adoe, Aceh Utara, Provinsi Aceh, Rabu (23/11).
Foto: Antara/Rahmad
Pengungsi etnis Rohingya yang tersisa beraktivitas dengan anak anak mereka di rumah Shelter, Blang Adoe, Aceh Utara, Provinsi Aceh, Rabu (23/11).

REPUBLIKA.CO.ID, TEKNAF -- Penderitaan etnis Rohingya bukan hanya kabar berita. Penderitaan mereka nyata terjadi dan terus membayangi. Meski sudah pergi ke tempat lain, pengalaman tidak bisa mudah dihapus.

"Jika (mereka) menemukan anak di bawah usia 10 tahun, mereka membunuhnya," kata Lalu Begum pada CNN. Militer Myanmar, menurutnya, hanya membawa pria dewasa.

Bukan sekali dua kali Begum melarikan diri. Hingga ia harus berpisah dari suaminya, ayah dari anak-anaknya. CNN mendapat berbagai cerita berinti sama, tidak berperikemanusiaan.

Sejumlah pengungsi mengaku diperkosa, disiksa, rumahnya dibakar habis dan sejumlah anggota keluarganya dieksekusi. "Saya tidak tahu suami saya masih hidup atau tidak," kata Begum.

Saat ini ia menetap di kamp Kutapalong, Bangladesh bagian selatan. Pada CNN ia mengaku melihat sejumlah perempuan di desanya diperkosa tentara-tentara.

"Saat mereka lihat perempuan cantik, mereka pura-pura minta air, masuk rumah dan memperkosa mereka," kata Begum. Ada satu juga orang etnis Rohingya yang tinggal di Rakhine, entah berapa sisanya sekarang.

Pemerintah Myanmar menyangkal segala tuduhan. Terakhir, PBB melayangkan tuduhan percobaan pembersihan etnis atas Rohingya. Pejabat tinggi PBB di Bangladesh, John McKissick mengatakan Rohingya adalah etnis paling tertekan di dunia.

"Sepertinya militer Myanmar ingin membersihkan etnis ini dari populasi," kata dia. Begum tidak mengerti dengan apa yang terjadi di desanya. Ia hanya tahu daerah yang ia sebut rumah sudah tidak aman lagi.

Sejumlah pengungsi di Kutapalong mengatakan mereka kabur dari rumah pada malam hari. Mereka berjalan dari desa ke desa main kucing-kucingan dengan tentara. Mereka pun mempertaruhkan nyawa untuk bisa melintasi sungai Naf.

Tujuan mereka adalah negara Bangladesh. "Butuh empat hari, untuk sampai sini," kata Begum. Saat desanya terbakar, ia langsung pindah ke desa lain. Begitu seterusnya sampai tiba di Bangladesh.

Selama perjalanan, banyak anggota keluarga berguguran. Begum kabur berenam dari desanya. Namun tiga orang terpisah. Suami dan anak laki-lakinya hilang, mungkin tewas.

CNN mengaku tidak bisa memverifikasi cerita Begum. Tidak ada yang bisa ke Myanmar untuk melihat kondisi asli di lokasi. "Kami sudah minta akses pada pemerintah, agar kami bisa menilai," kata McKissick.

Ia mengaku hanya bisa melihat gelombang pengungsi dari perbatasan ke Bangladesh. Mereka datang dari hutan, jalan utama, desa sebelah hingga kamp-kamp tertentu.

Bisa mencapai Bangladesh pun bukan akhir dari cerita. Pemerintah kini mulai mengetatkan pengamanan perbatasan. Bangladesh bersiap dengan meningkatnya gelombang masuk pengungsi.

Pemerintah Bangladesh hanya menyebut jumlahnya ribuan. Duta besar Myanmar di Dhaka sudah dipanggil untuk ditanyai. Jawabannya sama, pemerintah menyangkal laporan pelecehan HAM di Rakhine.

Pemerintah mengatakan militer hanya melakukan operasi pembersihan. Mereka memburu tersangka pelaku kekerasan yang menewaskan sembilan penjaga perbatasan pada 9 Oktober.

Sejak saat itu, media pemerintah mengatakan lebih dari 100 orang tewas. Sekitar 600 orang ditangkap. "Masalahnya, ada banyak etnis Rohingya yang terperangkap di sana," kata McKissick. Pemerintah telah salah memberlakukan hukuman kolektif melawan semua anggota etnis Rohingya.

CNN telah menghubungi kantor Kanselir Myanmar, Aung San Suu Kyi beberapa kali untuk membahas hal ini. Namun tidak ada respons.

"Di desa kami, tidak ada Muslim Rohingya yang tersisa, semuanya sudah melarikan diri," kata Begum. Nassima Khatun dan pengungsi lain mengatakan kembali ke Myanmar bukanlah pilihan.

Setidaknya jika kekerasan belum berakhir, mereka tidak ingin pulang. Meski rumah dan semua yang punya ada di sana, mereka tidak ingin kembali. "Bagaimana bisa? Mereka akan membunuh kami," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement