REPUBLIKA.CO.ID, MADISON -- Pengadilan Wisconsin, Amerika Serikat (AS) menolak penghitungan suara ulang yang dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan. Hal itu sebelumnya dinilai sebagai cara terbaik untuk mendapatkan hasil suara yang akurat.
Permintaan penghitungan ulang suara pemilu AS 8 November lalu digagas kandidat presiden dari Partai Hijau Jill Stein. Ia mengatakan ada kemungkinan peretasan terjadi saat proses pemungutan suara di Wisconsin dan dua negara bagian lainnya di Negeri Paman Sam, yaitu Michigan dan Pennsylvania.
Menurutnya, semua warga AS membutuhkan kepastian dan pembuktian proses pemilu telah berlangsung aman dan menguntungkan. Di tiga negara bagian tersebut, hasil suara menyatakan Donald Trump dari Partai Republik sebagai pemenang. Namun, ia hanya unggul tipis dibandingkan kandidat presiden dari Partai Demokrat Hillary Clinton.
Dewan Pemilu Wisconsin menyetujui penghitungan ulang suara dilakukan dan dimulai pada Kamis (1/12) besok. Pengacara Stein mengatakan, surat suara sebaiknya dihitung kembali dengan menggunakan tangan. Hal itu karena penghitungan yang dilakukan dengan mesin sangat rentan dengan serangan siber.
Meski demikian, salah satu hakim di Pengadilan Wisconsin, Valerie Bailey Rihn mengatakan penghitungan ulang dengan tangan tidak dapat dilakukan. Belum lagi, tim Stein dinilai gagal menunjukkan bukti kuat kecurangan saat proses pemilihan berlangsung telah terjadi.
"Tim dari Stein gagal menunjukkan kepada kami adanya kesalahan atau penyimpangan yang terjadi saat proses pemungutan suara yang dilakukan dengan menggunakan mesin berlangsung," ujar Rihn, dalam sidang gugatan Stein untuk penghitungan ulang suara, Selasa (29/11).
Rihn menjelaskan bahwa penghitungan ulang suara di Wisconsin tetap dilakukan dengan menggunakan mesin. Sebelumnya, beberapa pakar pemilu juga melihat tidak ada indikasi kemenangan Trump dalam pemilu presiden AS terkait dengan peretasan yang memanfaatkan kelemahan sistem elektronik tersebut.
Hasil tak resmi pemilu Wisconsin sebelumnya menunjukkan Trump unggul hanya dengan 27 ribu suara dibanding Clinton. Dengan kata lain, miliarder itu mendapatkan total suara 47,9 persen, sementara rival utamanya adalah 46,9 persen.
Trump sebelumnya mengatakan bahwa upaya penghitungan ulang suara yang diajukan Stein adalah sebuah modus penipuan. Hal itu disebut oleh pria berusia 70 tersebut bertujuan demi keuntungan pribadi.