Rabu 30 Nov 2016 19:02 WIB

Hampir 900 Insiden Kebencian Terjadi Setelah Pemilu AS

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Esthi Maharani
Donald Trump
Foto: AP
Donald Trump

REPUBLIKA.CO.ID, MONTGOMERY - Di Sarasota, Florida, seorang pria gay berusia 75 tahun tiba-tiba ditarik dari mobilnya dan dipukuli. Pelaku pemukulan mengatakan, "Kau tahu, Presiden baru saya mengatakan saya bisa membunuh orang seperti Anda sekarang."

Di San Antonio seorang pria mengatakan kepada seorang gadis Asia, "Begitu mereka melihat mata Anda, Anda akan dideportasi." Sementara di Wesley Chapel, seorang guru mengatakan kepada siswa berkulit hitam, "Jangan membuat saya menelepon Donald Trump untuk mengirim Anda kembali ke Afrika."

Southern Poverty Law Center (SPLC), kelompok hak-hak sipil yang berbasis di Montgomery, Alabama, telah mendokumentasikan 867 insiden kebencian dalam 10 hari, setelah Donald Trump terpilih menjadi Presiden AS. Insiden-insiden kebencian yang dilaporkan melalui situs resmi SPLC itu termasuk vandalisme terhadap rumah ibadah, serangan terhadap Muslimah berjilbab, dan intimidasi siswa Hispanik di sekolah.

SPLC juga mendapatkan 23 laporan insiden kebencian yang diklasifikasikan ke dalam kategori anti-Trump. Dalam salah satu kasus, seseorang dilaporkan mencekik leher seorang pria yang mengenakan topi bertuliskan Trump, di stasiun kereta bawah tanah New York.

Intimidasi dan kejahatan yang mengandung unsur SARA memang bukan kasus baru di AS. Sulit bagi SPLC untuk menentukan apakah ada kenaikan jumlah insiden kebencian di AS pascapemilu, karena pelacakan baru dilakukan setelah Trump terpilih.

Meski demikian, Presiden SPLC Richard Cohen mengatakan, banyak dari mereka yang melapor, mengaku mereka merasa terkejut karena tidak pernah mengalami intimidasi semacam itu sebelumnya. Cohen menyimpulkan, kampanye Trump membuat pelaku kebencian semakin berani melakukan intimidasi.

"Kami melihat sesuatu yang baru terkait intensitas dan tingkat serangan," kata Cohen, dikutip The Washington Post.

Dalam laporan terbaru berjudul "Ten Days After" yang dirilis pada Selasa (29/11), SPLC dan organisasi hak-hak sipil lainnya menuduh Trump telah memberikan dorongan bagi warga AS untuk melakukan kekerasan dan pelecehan. Perbuatan itu banyak menargetkan wanita, kaum minoritas, dan imigran.

Namun dalam sebuah wawancara di acara "60 Minutes", Trump mengaku sedih atas banyaknya berita mengenai kekerasan dan pelecehan terhadap Muslim dan warga Hispanik.

"Saya akan mengatakan, jangan lakukan itu. Itu mengerikan, karena saya akan menyatukan negara ini. Saya akan mengatakan ini tepat di depan kamera: hentikan itu," ujar Trump.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement