REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Parlemen Israel mendukung undang-undang kontroversial yang akan melegalkan permukiman Yahudi di Tepi Barat, Senin (5/12). UU ini artinya melegalkan sekitar 4.000 unit rumah yang berada di tanah jajahan.
Sesi di Knesset (pelemen Israel) pada Senin menghasilkan suara 60-49 mendukung RUU. Butuh tiga dukungan lagi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan sebelum peraturan menjadi hukum yang berlaku.
Saat masih menjadi rancangan, langkah ini telah menuai kecaman tajam komunitas internasional. Hubungan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan koalisi sayap kanan pun menegang.
Penduduk Palestina mengecam dan menyebutnya perebutan lahan yang akan menjauhkankan langkah menuju solusi konflik. Sejumlah penduduk Israel juga tidak menyukainya.
RUU tersebut adalah buah dari pembahasan antara Netanyahu dengan Menteri Pendidikan Naftali Bennett. Ia menjadi pendukung utama RUU sekaligus pihak yang terang-terangan mengampanyekan aneksasi sebagian besar wilayah Tepi Barat.
"Dengan undang-undang ini, Israel bergerak dari mendukung negara Palestina jadi membawa kedaulatan pada Israel," kata Bennett.
Bennett tidak menyembunyikan sikap perlawanannya terhadap Palestina. Ia menolak ide pembentukan negara tetangga Palestina. Sementara Netanyahu masih mendukung solusi dua negara sebagai solusi konflik.
Sebelum pemungutan suara pada Senin, Netanyahu dan Bennett sepakat untuk mengikutsertakan sekitar 40 keluarga dari permukiman di Amona. Pengadilan telah memerintahkan agar mereka dievakuasi pada 25 Desember dari area dekat Ramallah tersebut.
Sejumlah anggota koalisi Netanyahu sebelumnya mengatakan tidak mendukung UU jika Amona diikutsertakan. Pemerintah Israel membedakan antara permukiman yang secara resmi diterima dan tidak, salah satunya Amona.
Kesepakatan ini akan lebih memilih memindahkan penduduk Amona untuk sementara ke wilayah sekitarnya. Hingga ada solusi permanen yang disepakati. Kelompok HAM menyebut area itu adalah tanah milik Palestina dan langkah itu tetap melanggar hukum internasional.