REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Dubes Myanmar untuk Indonesia Aung Htoo menegaskan Myanmar menolak penggunaan istilah Rohingya. Pemerintah telah memprotes penggunaan istilah itu sejak lama.
"Myanmar tidak menyetujui bahwa kelompok tersebut menggunakan istilah 'Rohingya'. Kami tidak mengenal istilah ini. Pemerintah telah memrotes penggunaan kata tersebut sejak lama," ujarnya kepada wartawan di Bali, Jumat (9/12).
Menurut Undang-Undang Kewarganegaran Nomor 4 Tahun 1982, terdapat 3 macam kewarganegaraan: yaitu Pertama warganegara Myanmar asli, kedua, Warganegara Asosiasi, Warganegara dinaturalisasikan.
Aung Htoo mengatakan, kaum minoritas yang mendiami sisi utara negara bagian Rakhine menolak untuk pemeriksaan tentang kebenaran identitas dan jangka waktu tinggal di Myanmar.
"Kita harus verifikasi identitas mereka sudah berapa lama tinggal di Myanmar. Jika Anda baru datang dan tinggal selama satu tahun di Myanmardan punya izin tinggal, mereka punya kartu 'permanent residency permit'," kata Aung Htoo.
Menurut Aung Htoo sebagian besar kelompok minoritas itu datang dari Bengal, India. Kemudian pecah jadi Bengal Barat yaitu India dan Bengal Timur Pakistan.
"Kemudian jadi Bangladesh. Mereka tidak mempunyai kewarganegaraan karena pemerintah Bangladesh, India, maupun Pakistan juga tidak mengakui kelompok minoritas itu sebagai bagian dari mereka," ujar dia.
Baca juga, Citra Satelit: Ratusan Bangunan Muslim Rohingya Dibakar.
Karena itu, lanjut dia, pemerintah Myanmar ingin melakukan verifikasi terhadap kelompok itu. "Pemerintah sebelumnya tidak pernah verifikasi baru di masa Aung San Suu Kyi," ujar dia.
Namun, ia mengungkapkan bahwa kelompok tersebut tidak mau mengaku sebagai etnis Bengali, melainkan mereka ingin diakui sebagai Rohingya.
Terkait tuduhan genosida yang dialamatkan kepada pemerintahan Myanmar, Duta Besar Aung Htoo membantah.
"Jika Anda bilang kita membunuh mereka pasti jumlah mereka berkurang. Namun, anda bisa lihat bahwa jumlah mereka semakin bertambah," katanya.