Senin 12 Dec 2016 16:21 WIB

Mencari Bukti Kekerasan pada Rohingya

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ani Nursalikah
Anak-anak pengungsi Rohingya mengikuti pelajaran di sekolah kamp pengungsi Kutupalang di Cox Bazar, Bangladesh.
Foto: Reuters
Anak-anak pengungsi Rohingya mengikuti pelajaran di sekolah kamp pengungsi Kutupalang di Cox Bazar, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Dari luar Teluk Benggala, Bangladesh, kedatangan penduduk Rohingya tidak putus. Kontributor Aljazirah, Maher Sattar menceritakan mereka terus berdatangan.

Sebagian besar mengaku berasal dari desa Kearipar di Myanmar. Dari cerita mereka, tampaknya desa tersebut sudah hancur tak berbentuk.

Sebagian besar mengulang kisah yang sama. Mereka melihat anggota keluarganya dibunuh, mereka berusaha bersembunyi dimana pun, tidak makan selama beberapa hari dan melihat rumah mereka dibakar habis.

Beberapa orang mengatakan harus menjual barang-barang berharga, seperti cincin, anting atau apa pun. Mereka menggunakan uangnya untuk pergi ke Bangladesh.

Rutenya tidak mulus, sering kali sangat bermasalah dan mematikan. Akhir tahun lalu, dunia dikejutkan dengan sejumlah laporan soal ribuan Rohingya yang terdampar dan kelaparan. Mereka sekarat di pantai selatan Thailand. Kadang mereka ditemukan di dalam kuburan massal di hutan perbatasan.

Laporan pihak internasional menyebut mereka menjadi objek perdagangan manusia dan dimanfaatkan oleh jaringannya. Mereka dieksploitasi dan uang mereka diambil. Tujuan Rohingya saat itu adalah tiba Malaysia.

Agar bisa tiba di sana, mereka melalui jalur Bangladesh atau Thailand. Saat itu mereka pun memiliki alasan yang sama, melarikan diri dari kekejaman di Myanmar. Negeri seberang yang lebih aman harus dijadikan cita-cita meski perjalanannya bisa mematikan.

Saat ini, Bangladesh adalah tujuan yang dirasa paling logis. Para pengungsi bercerita mereka harus bersembunyi di ladang padi selama berhari-hari tanpa makan. Sejumlah pengungsi lain harus makan daun di hutan untuk bertahan hidup.

Mereka mengendap-endap setiap menit untuk menghindari militer Myanmar. Kadang mereka harus tiarap dalam waktu yang lama. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan panjang. Mereka hanya mengandalkan kaki mereka sendiri.

Tiba di Bangladesh bukan akhir dari cerita sedih. Jika mereka tertangkap otoritas, mereka akan dipulangkan. Kini setiap beberapa ratus meter ada otoritas patroli bersenjata. Bangladesh telah menerapkan larangan imigran masuk.

Saat ini puluhan ribu imigran berada di Bangladesh. Sebagian besar tinggal di kamp-kamp pengungsi Rohingya tidak resmi dekat kota turis Cox's Bazar. Mereka ditampung oleh pengungsi lama. Hanya mereka yang mengerti penderitaan para pengungsi baru.

Cerita dari mereka tampaknya belum bisa jadi bukti. Pihak internasional mempertanyakan kebenaran kekerasan di Rakhine. PBB telah mengeluarkan pernyataan ada upaya pembersihan etnis di Myanmar. Dari sisi Bangladesh, tuduhan itu tampak kuat.

Namun pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi enggan membahasnya. Ia mengatakan tuduhan itu tidak seharusnya dilontarkan tanpa bukti.

Sejauh ini, tidak ada pihak yang bisa membenarkan tuduhan karena pemerintah Myanmar melarang akses masuk pihak independen. Jurnalis atau pengamat tidak diizinkan masuk wilayah kekerasan.

"Kenapa jurnalis tidak boleh masuk jika otoritas Myanmar tidak punya sesuatu untuk disembunyikan?" kata Maher Sattar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement