REPUBLIKA.CO.ID, ALEPPO -- Tentara Suriah mengatakan, pertempuran di Aleppo Timur telah memasuki tahap akhir. Terkait dengan kondisi itu, aktivis HAM memperingatkan terjadinya pembantaian massal di Aleppo Timur yang dikuasai pemberontak.
"Pemberontak tidak punya banyak waktu yang diperlukan untuk menyerah atau mati," ujar Kepala Komite Keamanan Pemerintah Suriah, Letnan Jenderal Zaid al-Saleh, dikutip BBC.
Direktur Syrian Observatory for Human Rights, Rami Abdel Rahman, memperingatkan terjadinya 'pembantaian massal' di Aleppo Timur. Ia mengimbau masyarakat internasional untuk bisa memberikan tempat yang aman bagi warga sipil Aleppo untuk berlindung.
Pada Senin (12/12) pagi, kantor berita resmi Sanaa mengutip sumber militer yang mengatakan, tentara Suriah telah mengambil kontrol penuh atas distrik Sheikh Saeed, serta Karam al-Daadaa dan Shalihin. Beberapa jam kemudian, distrik Bustan al-Qasr, Kallasa, Fardous, Jaloun, dan Jisr al-Haj juga jatuh ke tangan Suriah setelah pemberontak terpaksa mundur karena mendapatkan pemboman intens dari pasukan pemerintah.
Syrian Observatory for Human mengatakan, setidaknya 415 warga sipil dan 364 pemberontak telah tewas di dalam wilayah yang dikuasai pemberontak sejak 15 November lalu. Sementara 130 warga sipil telah tewas dalam serangan roket dan mortir oleh pemberontak di Aleppo Barat yang dikuasai pemerintah.
Penasihat Badan Kemanusiaan PBB, Jan Egeland, mengatakan Pemerintah Suriah dan Rusia menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas semua kekejaman yang terjadi di wilayah konflik. Kelompok pemberontak telah kehilangan lebih dari 90 persen wilayah mereka di Aleppo Timur, sejak pasukan Suriah melakukan serangan ofensif sebulan lalu.
Rusia, yang mendukung pasukan Pemerintah Suriah, mengatakan lebih dari 100 ribu warga sipil telah mengungsi akibat pertempuran tersebut. Selain itu, tercatat ada 2.200 pemberontak yang menyerah.
Aleppo pernah menjadi kota terbesar sebagai pusat komersial dan industri di Suriah, sebelum pemberontakan terhadap Presiden Bashar al-Assad dimulai pada 2011. Dalam empat tahun terakhir, Aleppo terbagi menjadi dua, yaitu barat yang dikendalikan pemerintah dan timur yang dikendalikan pemberontak.
Rusia dan Amerika Serikat sempat mengadakan pembicaraan di Jenewa akhir pekan lalu. Keduanya membahas masalah warga sipil dan pemberontak untuk bisa segera meninggalkan Aleppo Timur.
Namun, para pejabat AS mengatakan rekan-rekan mereka dari Rusia telah menolak proposal penghentian segera konflik di wilayah itu. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, mengatakan negosiasi dengan AS terkait Suriah menghadapi jalan buntu. "Tapi Rusia masih siap bernegosiasi untuk membuka koridor pembebasan pemberontak dalam gencatan senjata," ujar Lavrov.