Rabu 14 Dec 2016 15:49 WIB

Hujan dan Doa Kedamaian Warga Aleppo

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ani Nursalikah
Perempuan Suriah berjalan melewati sebuah jasad yang tergeletak di tepi jalan Aleppo.
Foto: AP Photo/ Manu Brabo
Perempuan Suriah berjalan melewati sebuah jasad yang tergeletak di tepi jalan Aleppo.

REPUBLIKA.CO.ID, ALEPPO TIMUR -- Penduduk Aleppo selalu berdoa hujan turun setiap hari. Saat hujan, tidak akan ada pesawat tempur yang berlalu lalang. Bom tidak akan turun bersamaan dengan air hujan.

Penduduk Aleppo juga paling berharap hujan turun cukup lama. Berharap waktu tersebut cukup untuk pihak internasional datang membawa bala bantuan. Menolong 150 ribu sipil yang terjebak.

Kontributor Aljazirah di Aleppo, Bilal Abdul Kareem mengatakan situasi di sana sangat memutus harapan. Banyak orang putus asa. Mereka yang masih kuat memutuskan mencari jalan keluar.

Mereka berjejal di wilayah sekitar 10 Km persegi. Banyak anak-anak dan bayi di sana. Seorang ibu bisa membawa tiga sampai empat anak mereka. Gembolan tas dibawa seadanya. Kadang berisi pakaian, makanan kecil, tas plastik, hingga sejumlah alat masak praktis.

"Saya memilih datang ke Aleppo beberapa pekan lalu, saya pikir akan tinggal beberapa hari saja, tapi ternyata tidak," kata Kareem dilansir Aljazirah, Selasa (13/12).

Ia sudah berada di Aleppo selama beberapa pekan. Padahal situasi sangat berisiko.

Meliput dari zona konflik tentu berbahaya. Namun ia berpikir, mendapatkan kebenaran jauh lebih penting. Warga sipil yang berada di sana mengaku tidak punya pilihan lain. Mereka terperangkap dalam mimpi buruk yang tidak mereka inginkan.

Kareem mengatakan cuaca di Aleppo sudah sangat dingin. Tempat tinggalnya tidak cukup layak dengan dinding yang berlubang. Kareem harus menutupinya dengan sejumlah plastik dan selimut. Lubang itu adalah oleh-oleh serangan udara beberapa hari lalu.

Ia tinggal di rumah seorang warga Aleppo yang begitu dermawan. "Mereka tahu saya bisa menyebarkan cerita mereka pada dunia," kata jurnalis Amerika kulit hitam satu-satunya di Aleppo itu.

Penduduk mengizinkannya mengisi daya ponsel dan laptop di satu-satunya tempat dengan listrik. Sulit mendapatkan makanan yang stoknya hanya tinggal sedikit. Sejumlah pedagang tidak bisa menjualnya karena untuk dikonsumsi sendiri. Saat memasak, penduduk harus membakar puing-puing kayu yang berserakan di jalanan.

Menu makanan kadang roti, kurma atau gandum. Untuk memasak mereka kadang harus bersembunyi. Khawatir tiba-tiba pesawat tempur datang menginterupsi. Atau ada orang lapar lain yang tidak bisa mereka bagi.

Air adalah barang mewah. Sejumlah wilayah benar-benar tidak bisa mengaksesnya. Serangan udara kadang dilakukan dengan bejat. Pesawat menjatuhkan bom pertama sampai orang-orang berkumpul untuk mencari korban yang mungkin tertimpa puing. Kemudian bom kedua dijatuhkan.

Saat malam, jalanan kosong. Pesawat tempur terbang rendah dan menembak siapa pun yang bergerak. Jika terpaksa harus keluar rumah, maka kuping harus dipasang lebih jeli dari serigala. Tunggu sampai pesawat lewat dan larilah seperti dikejar bayangan sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement