REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Wakil presiden pertama Afghanistan, Abdul Rashid Dostum, menyangkal dugaan menganiaya, menculik dan mengancam menyerang pesaing politiknya secara seksual, Selasa (13/12). Dugaan itu membuat negara Barat mendesak pemerintah menyelidiki perkara tersebut secara menyeluruh dan adil.
Dostum adalah mantan komandan oposisi dengan "nama" buruk, yang menguasai Afghanistan Utara. Saat melakukan penyiksaan itu, ia dilihat ratusan saksi, kata New York Times. Ia memukul serta memerintahkan pengawalnya menangkap Ahmad Ishchi dalam acara olahraga pada akhir November. Namun, tuduhan Ishchi terhadap Dostum belum dapat dipastikan.
"Ia (Ishchi) ditahan oleh petugas keamanan Afghanistan karena dituduh membiayai oposisi serta terlibat dalam sejumlah masalah keamanan," kata juru bicara Dostum.
Ia menyangkal Dostum telah melakukan penyiksaan secara fisik atau seksual. "Ada sejumlah gerakan destruktif yang menyasar Wapres Pertama," tambahnya.
Kantor Kepresidenan Afghanistan Ashraf Ghani berjanji akan menggelar penyelidikan menyeluruh terhadap tuduhan Ishchi itu.
Ishchi mengaku dipukuli berulang kali dengan senjata, dan diancam akan disiksa secara seksual saat dipenjara pengawal Dostum.
Setelah ditahan selama lima hari, ia tetap dijaga petugas saat dirawat selama 10 hari. "Bagi pemerintah tidak ada satu orang pun yang mendapat kekebalan atau berada di atas hukum. Hukum dan akuntabilitas dijalankan mulai dari pemerintah, dan kami berkomitmen memegang teguh hal tersebut," kata juru bicara istana, Haroon Chakhansori dengan berjanji menyelidiki kasus Ishchi.
Kedutaan besar negara Barat di Kabul menunjukkan keprihatinannya terhadap dugaan tersebut. "Penahanan ilegal dan laporan penyiksaan yang dialami Ishchi oleh Wakil Presiden pertama membuat banyak pihak prihatin," kata Kedutaan Besar Amerika Serikat.
"Kami menyambut baik keputusan pemerintah Afghanistan yang akan menyelidiki dugaan tersebut," katanya.
Uni Eropa, Australia, Kanada, dan Norwegia mendesak hal yang sama. Dostum bergabung dengan Pemerintah Nasional Afghanistan pada 2014, tawaran yang dibuat Ghani untuk menarik dukungan pemilih etnis Uzbek. Namun ia sempat terhambat dugaan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Faksi oposisi itu sempat menyebabkan kerusuhan berdarah di Afghanistan setelah menundukkan pasukan Soviet pada 1989.
Banyak warga Afghan pada 1990-an menyambut kemunculan Taliban yang mengalahkan dan menyingkirkan "kaisar perang" faksi tersebut. Namun, sejumlah komandan unsur lama kembali tampil sejak Taliban disingkirkan pada 2001, menyebabkan banyak masyarakat Afghanistan khawatir.