REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dari Indonesia ke Suriah meningkat drastis pada 2016. Jumlah kasus diperkirakan akan terus meningkat meski dalam keadaan perang jika Suriah tidak mengakui Penghentian Permanen Pengiriman TKI 2015 dan Moratorium 2011 yang diinisiasi Pemerintah Indonesia.
"Akan naik terus tahun depan dan seterusnya, jika Pemerintah Suriah tidak akui moratorium dan penghentian permanen pengiriman TKI," ujar Pejabat Konsuler yang merangkap sebagai Penerangan Sosial Budaya KBRI Damaskus, AM Sidqi, kepada Republika, Rabu (21/12).
Menurut data KBRI Damaskus, jumlah TPPO dari Indonesia ke Suriah meningkat tajam pada 2016 dari tahun-tahun sebelumnya, sebesar 128 orang. Pada 2015, TPPO berjumlah 85 orang. Pada 2014, TPPO berjumlah 16 orang. Pada 2013, TPPO berjumlah 26 orang dan pada 2012, TPPO berjumlah satu orang.
"Mereka aman di shelter KBRI," kata Sidqi, merujuk pada korban TPPO yang masih berada di Damaskus.
Ia menjelaskan, korban mayoritas berasal dari wilayah NTB, Banten, dan Jawa Barat, yang berporfesi sebagai pekerja rumah tangga. Mereka terjerat sindikat perdagangan orang ke Suriah karena diiming-imingi pekerjaan sebagai TKI di negara lain.
Sejauh ini, KBRI Damaskus telah mengantongi tiga nama sindikat perdagangan orang yang bekerja secara individu. Mereka diketahui bekerja sama dengan sindikat asing yang berasal dari Suriah. Menurutnya, para sindikat itu meloloskan korban dengan dokumen asli yang data-datanya dipalsukan. Mereka membuat paspor asli, namun semua keterangan, bukan keterangan sebenarnya.
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya diplomatik, salah satunya pemulangan para korban TPPO dari Damaskus. Sejak Januari hingga Desember 2016, korban TPPO yang telah dipulangkan mencapai 122 orang.
Mereka dipulangkan secara berkala bersama WNI dan TKI yang berada di Suriah dalam 13 gelombang. Data KBRI Damaskus menunjukkan, total WNI dan korban TPPO yang telah dipulangkan ke Indonesia dari Suriah mencapai 347 orang.