REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan PBB mengesahkan resolusi yang mendesak Israel mengakhiri pembangunan permukiman ilegal, Jumat (23/12). Keputusan didapat setelah AS menolak memveto rancangan resolusi tersebut.
Pejabat Israel mengecam langkah AS tersebut. Resolusi yang digagas Mesir itu ditunda setelah Israel meminta Donald Trump mengintervensi. Namun, proposal itu diajukan kembali oleh Malaysia, Selandia Baru, Senegal dan Venezuela. AS secara tradisional melindungi Israel dari resolusi yang mengecam mereka.
"Ini bukan resolusi menentang permukiman, tapi resolusi anti-Israel, terhadap orang Yahudi dan negara Yahudi. AS malam ini menelantarkan satu-satunya kawan di Timur Tengah," ujar Menteri Energi Israel Yuval Steinitz, dilansir BBC, Sabtu (24/12).
Isu permukiman ilegal Yahudi merupakan masalah panas bagi Israel dan Palestina. Perkara ini menjadi sandungan dalam menciptakan perdamaian.
Sekitar 500 ribu Yahudi tinggal di sekitar 140 permukiman yang dibangun sejak penjajahan Tepi Barat dan Timur Yerusalem pada 1967.Permukiman Yahudi itu melanggar hukum berdasarkan hukum internasional.
Resolusi DK PBB mendapatkan 14 suara setuju dengan AS memilih abstain.
Duta Besar AS untuk PBB Samantha Power mengatakan resolusi tersebut menggambarkan fakta lapangan bahwa pertumbuhan permukiman meningkat. "Persoalan permukiman memburuk hingga mengancam solusi dua negara," ujarnya.
Dia mengkritik dukungan PM Israel Benjamin Netanyahu terhadap perluasan permukiman. "Seseorang tidak dapat secara bersamaan memenangkan perluasan pemukiman dan memenangkan solusi dua negara yang akan mengakhiri konflik," katanya.
Namun, Power menambahkan AS tidak memilih mendukung resolusi karena topiknya terlalu sempit di permukiman.