REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON DC -- Putri Presiden Turki, Sumeyye Erdogan Bayraktar, menjadi pembicara dalam sebuah konferensi Muslim di Chicago yang diselenggarakan oleh Muslim American Society-Islamic Circle of North America (MAS-ICNA). Ia mengatakan, organisasi yang dioperasikan oleh ulama yang berbasis di AS, Fethullah Gulen, lebih berbahaya dari kelompok teroris ISIS.
"Lebih mudah untuk mengubah beberapa pemuda yang putus asa untuk menjadi militan ISIS. Karena mereka kehilangan dirinya. Jadi jika seseorang datang dan menjanjikan surga, mereka mungkin mencobanya. Feto (Organisasi Teroris Fethullah) memengaruhi hati dan pikiran dari para ilmuwan, akademisi, insinyur, dan lainnya. Untuk itu, Feto lebih berbahaya dari Daesh (nama lain untuk ISIS),” ujar Bayraktar seperti dilansir dailycaller.com, Rabu (28/12).
Dia juga menyampaikan, kontroversi yang melibatkan jaringan gerakan Gulenist di sekolah piagam AS. Ia menjelaskan, Gulenists memiliki sistem terbesar dari sekolah piagam di Amerika Serikat, dengan lebih dari 150 sekolah. Sehingga organisasi ini menerima $ 500 juta uang pajak setiap tahun.
Bayraktar mengawali pidatonya dengan membela Turki sebagai mercusuar demokrasi dan toleransi di Timur Tengah. Dia membantah tuduhan yang menyebutkan bahwa pemerintahan ayahnya keras atas pers dan meminggirkan lawan politik.
Menurutnya, setiap orang, terlepas dari apa pun profesinya, harus menghadapi konsekuensi penuh dari hukum jika mereka memiliki hubungan dengan organisasi teroris atau mempromosikan propaganda teroris. Ia menekankan, tidak ada satu pun wartawan di Turki yang telah dipenjara karena kegiatan jurnalistik atau karena mengkritik presiden.
Erdogan menyalahkan gerakan Gulenist untuk mendalangi upaya kudeta terhadap pemerintah Turki pada 15 Juli lalu. Erdogan telah menyatakan bahwa Fethullah Gulen mendalangi upaya yang dilakukan oleh anggota militer Turki dan menewaskan lebih dari 240 warga sipil.
Pejabat pemerintah Turki juga mengatakan, polisi Ankara yang membunuh duta besar Rusia Andrey Karlov adalah Gulenist. Para pejabat Rusia sedang menyelidiki motif sang pembunuh.