Jumat 30 Dec 2016 06:31 WIB

Puluhan Peraih Nobel Desak PBB Hentikan Genosida di Myanmar

Gambar citra satelit kondisi desa-desa di negara bagian Rakhine, Myanmar, yang dihuni oleh etnis Muslim Rohingya, pada November 2016.
Foto: Human Rights Watch
Gambar citra satelit kondisi desa-desa di negara bagian Rakhine, Myanmar, yang dihuni oleh etnis Muslim Rohingya, pada November 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Puluhan peraih hadiah Nobel, termasuk Uskup Desmod Tutu dan Malala Yousafzai, pada Kamis (29/12) mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menghentikan pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan di negara bagian Rakhine, Myanmar yang bergejolak.

Sudah 86 orang tewas dalam tindakan militer di Rakhine, yang dilancarkan setelah terjadinya serangan ke kantor-kantor polisi di dekat perbatasan dengan Bangladesh pada 9 Oktober. Pemerintah Myanmar, negara yang sebagian besar penduduknya beragama Budha, selama ini menuding etnis muslim Rohingya dengan dukungan milisi asing mengkoordinasikan serangan-serangan yang menewaskan sembilan personel kepolisian.

Lebih dari 30 ribu orang mengungsikan diri ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan. Peristiwa itu mengundang kritik dunia internasional bahwa pemerintahan Aung San Suu Kyi tidak berbuat banyak dalam membantu para warga Rohingya. Etnis tersebut tidak diberi kewarganegaraan di Myanmar.

Dalam surat terbuka kepada Dewan Keamanan, Desmond Tutu dan 22 sosok terkemuka lainnya, termasuk peraih Nobel Perdamaian Jose Ramos Horta dan Muhammad Yunus, mengatakan tragedi kemanusiaan yang menjadi pembersihan etnis serta kejahatan terhadap kemanusiaa sedang bergulir di Myanmar.

"Jika kita tidak mengambil tindakan, orang-orang bisa mati kelaparan, kalau tidak mati terbunuh peluru," demikian bunyi surat itu.

Surat itu memperingatkan kekerasan seperti itu pernah terjadi saat pembersihan etnis di Rwanda pada 1994 serta di Darfur-Sudan barat, Bosnia dan Kosovo. Para penandatangan surat mengatakan bahkan jika sekelompok etnis Rohingya berada di balik serangan 9 Oktober, tindakan yang dilancarkan militer Myanmar sangat tidak seimbang.

"Adalah hal yang bisa (dimengerti) jika (petugas) mengumpulkan para tersangka, memeriksa mereka dan membawa mereka ke pengadilan. Tapi lain halnya jika (petugas) mengerahkan helikopter bersenjata untuk menangani ribuan warga sipil dan memperkosa para perempuan serta melemparkan bayi-bayi ke dalam api," kata surat tersebut.

Pemerintah Myanmar membantah tuduhan militer mengerahkan kekuatan berlebihan dalam menangani serangan Oktober. Surat kepada Dewan Keamanan diprakarsai oleh mantan presiden Timor Leste Ramos Horta serta Muhammad Yunus, yang membantu revolusi pendanaan bagi kaum miskin di Bangladesh.

Juru bicara kepresidenan Dewan Keamanan PBB, yang saat ini dijabat Spanyol, memastikan Dewan sudah menerima surat tersebut. Dewan juga menungkapkan rasa frustrasi para penandatangan bahwa Suu Kyi, sang penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1991, tidak memberikan jaminan hak-hak kewarganegaraan bagi masyarakat Rohingya. Surat juga berisi desakan agar pemerintah Myanmar mencabut semua pembatasan bagi bantuan kemanusiaan ke Rakhine.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement