REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Korea Selatan (Korsel), Park Geun-hye, menolak bersaksi dalam sidang pemakzulannya, Selasa (3/1). Penolakan itu membuat Mahkamah Konstitusi Korsel harus menunda kesaksian dari Park hingga Kamis (5/1).
Keputusan Park memicu kritik dari anggota Parlemen yang berfungsi sebagai jaksa selama persidangan pemakzulan presiden. Namun, pengadilan mengatakan tidak dapat memaksa Park muncul di dalam sidang. Menurut hukum yang berlaku, sidang dapat dilanjutkan tanpa kehadiran Park jika ia kembali menolak datang.
Anggota Parlemen Kweon Seong Dong, sebagai kepala jaksa di persidangan, mempertanyakan penolakan kehadiran Park melakukan pembelaan di pengadilan. Padahal dua hari sebelumnya Park dengan keras menolak tuduhan korupsi di depan wartawan di Blue House (Istana Presiden), Seoul.
"Ini bukan etika yang baik untuk hakim dan juga tidak pantas untuk presiden sebagai tergugat di sidang pemakzulan, untuk mengatakan ini dan itu kepada media di luar pengadilan," kata Kweon, dikutip Asian Correspondent.
Pengacara Park, Lee Joong-hwan mengatakan Park tidak berencana hadir di persidangan pada Kamis (5/1) dan mungkin tidak akan bersaksi dalam persidangan pemakzulan. Mahkamah Konstitusi memiliki waktu 180 hari untuk memutuskan apakah akan menindaklanjuti proses pemakzulan Park atau menolaknya. Pemilihan presiden akan diadakan dalam kurun waktu 60 hari jika pengadilan secara resmi melengserkan Park dari jabatannya.
Pada Oktober 2016, Park terlibat dalam kekacauan politik di tengah tuduhan skandal yang dibawa teman dekatnya, Choi Soon-ill. Skandal itu memicu ratusan ribu demonstran ke jalan-jalan dari Seoul untuk meminta Park mengundurkan diri.
Park dimakzulkan oleh Parlemen pada akhir tahun lalu. Persidangan dimulai pada Selasa (2/1) dan akan memakan waktu beberapa bulan.