REPUBLIKA.CO.ID, IRBIL - Amnesty International melaporkan, milisi Syiah telah melakukan kejahatan perang dengan menggunakan senjata militer Irak. Senjata-senjata itu merupakan pemberian pasukan koalisi Amerika Serikat (AS), Eropa, Rusia, dan Iran.
"Pemasok senjata Internasional, termasuk Amerika Serikat, negara-negara Eropa, Rusia, dan Iran, harus melihat fakta bahwa pasokan senjata ke Irak akan berakhir di tangan kelompok-kelompok milisi Syiah, yang akan menoreh sejarah pelanggaran hak asasi manusia," kata peneliti Amnesty International, Patrick Wilcken, dikutip Arab News.
Menurutnya, negara -negara yang ingin menjual senjata ke Irak harus melakukan langkah-langkah ketat untuk memastikan senjata tidak akan digunakan oleh milisi Syiah. Amnesty melakukan pemantauan selama dua tahun di lapangan, termasuk melakukan wawancara dengan puluhan mantan tahanan, saksi, korban, dan keluarga dari korban yang tewas, ditahan, atau hilang.
Laporan Amnesty difokuskan terhadap empat kelompok milisi kuat, yang sebagian besar menerima dukungan dari Iran, yaitu Organisasi Badr, Asaib Ahl Al-Haq, Kataib Hizbullah, dan Saraya Al-Salam.
Kelompok hak asasi manusia itu mengungkapkan, kelompok milisi Syiah yang dikenal dengan nama Hashid Shaabi, menggunakan senjata dari stok pasukan koalisi untuk melakukan pembunuhan dan penyiksaan. Akan tetapi, kelompok Hashid Shaabi menolak tuduhan Amnesty dan menudingnya sebagai sebuah kebohongan.
Parlemen Irak mengesahkan kelompok Hashid Shaabi menjadi bagian dari pasukan Irak pada November lalu. Namun keputusan itu diboikot oleh perwakilan Sunni, yang khawatir akan adanya kekuasaan mayoritas Syiah serta pengaruh regional Iran.
Amnesty juga mengungkap, ada beberapa tuduhan pelanggaran serius yang dilakukan oleh Hashid sejak awal 17 Oktober dalam operasi merebut kembali Mosul dari ISIS.