REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Badan intelijen Amerika Serikat (AS), gabungan dari Central Intelligence Agency (CIA), Federal Bureau of Investigation (FBI), dan National Security Agency (NSA), memberikan laporan terbaru terkait kasus intervensi pemilu AS oleh Rusia. Presiden Rusia Vladimir Putin terbukti memerintahkan serangan siber untuk membantu kemenangan Donald Trump dengan mendiskreditkan Partai Demokrat.
"Kami menilai, Presiden Rusia Vladimir Putin telah memerintahkan serangan yang mempengaruhi pemilihan Presiden AS 2016. Kami melihat Putin dan Pemerintah Rusia memberikan preferensi yang jelas kepada Trump. Kami memiliki keyakinan yang tinggi dalam penilaian ini," tulis intelijen AS dalam laporannya.
Tujuan intervensi Rusia adalah untuk melemahkan persepsi publik dalam proses demokrasi AS. Rusia juga ingin merendahkan citra Hillary Clinton, hingga sulit baginya untuk memenangkan kursi kepresidenan.
Laporan tersebut dinilai pelik oleh Pemerintah AS. Keterlibatan Rusia belum pernah terjadi sebelumnya untuk memanipulasi sistem politik Amerika.
Laporan itu mengungkapkan, badan intelijen militer Rusia, GRU, menggunakan perantara seperti WikiLeaks, DCLeaks.com, dan Guccifer 2.0 untuk merilis surel yang telah diperoleh dari Komite Nasional Partai Demokrat (DNC). Rilis dari surel tersebut membuat media menyebarkan kabar merugikan bagi Clinton, hingga Kepala DNC harus mengundurkan diri.
Pendiri WikiLeaks, Julian Assange, mengatakan dia tidak menerima surel curian DNC melalui pembantu Clinton, John Podesta, dari pihak negara. Namun, Assange tidak menutup kemungkinan bahwa ia mendapat materi surel itu dari pihak ketiga.
"Ketika itu tampaknya Moskow melihat Clinton berpeluang memenangkan pemilu, pengaruh serangan siber Rusia lebih fokus pada kemenangan Trump," ujar laporan.
Kedutaan Rusia di Washington, belum menanggapi permintaan komentar. Laporan tersebut menilai, serangan Putin didorong sebagian oleh kebencian pribadi terhadap Clinton.
"Putin kemungkinan besar ingin mendiskreditkan Clinton karena Putin secara terbuka telah menyalahkan Clinton sejak 2011, yang dianggap menghasut protes massa terhadap rezimnya pada akhir 2011 dan awal 2012," ungkap laporan tersebut.