REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Himpunan Alumni Amerika Serikat di Indonesia (Alumnas) memprediksi kebijakan proteksionisme dan pengetatan imigrasi yang akan diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump tidak akan mengancam mahasiswa asing yang belajar di negara tersebut.
Dalam sebuah diskusi berjudul "Trump Presidency and Its Impact to Indonesia" yang diselenggarakan Ikatan Alumni Program Habibie di Jakarta, Sabtu, Sekretaris Jenderal Alumnas Jimmy M Rifai Gani menyebut langkah proteksi Trump akan lebih fokus terhadap tenaga kerja asing dan perdagangan luar negeri.
"Soal mahasiswa asing tidak terancam karena kontribusi siswa asing terhadap perekonomian AS cukup tinggi," ujar Jimmy.
Ia menuturkan jumlah pelajar internasional yang melanjutkan studi di AS selama tahun akademik 2015/2016 tercatat 1.044 siswa. Jika rata-rata setiap pelajar membayar uang sekolah sekitar 25 ribu dolar AS, kata Jimmy, maka pelajar asing memberikan kontribusi sebesar 25 miliar dolar AS.
"Ini bukan jumlah yang sedikit. Bagi AS sebagai negara yang menomorsatukan 'profit', tentu ini kesempatan yang tidak akan dilewatkan," ujar alumnus John F Kennedy School of Government, Harvard University, AS.
Sementara, menurut laporan Open Doors yang diterbitkan Institute of International Education (IIE), saat ini terdapat 8.728 pelajar Indonesia yang menempuh studi di AS atau meningkat 26 persen sejak 2010.
Laporan IIE menunjukkan sebesar 66,7 persen pelajar Indonesia tersebut menempuh pendidikan untuk gelar strata I, sementara 18,6 persen melanjutkan pendidikan pascasarjana, dan 3,4 persen lainnya terdaftar di program nongelar seperti kursus singkat pendidikan bahasa.
Organisasi nirlaba yang bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan AS itu menyebut bahwa pelajar asing yang menjalani studi di AS sebagian besar berasal dari China dengan prosentase 31,5 persen atau sekitar 300 ribu siswa, disusul India dengan 165 ribu siswa dan Arab Saudi dengan 61 ribu siswa.