REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS ke-45 menimbulkan sejumlah kontroversi. Rencana kebijakan hingga pelantikannya telah memicu sejumlah perdebatan dan pembangkangan publik (civil disobedience).
Sejumlah peristiwa seputar kontroversi terjadi setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden AS seperti dilansir dari Independent.co.uk, Ahad (22/1). Dalam laporan itu, Trump disebut tak menepati sejumlah janji kampanye soal tembok perbatasan. Donald Trump baru dilantik pada Jumat lalu. Namun, sejumlah janji kampanyenya sudah dia langgar.
Trump berulang kali menyatakan akan membangun tembok raksasa di perbatasan selatan dan Meksiko harus membayar konstruksinya. Tembok besar perbatasan menjadi salah satu meme politik paling diingat di kampanye Trump. Akan tetapi, Trump baru-baru ini mengatakan pihaknya akan menggunakan dana pajak untuk membiayai proyek tersebut sebesar 14 miliar dolar AS.
Dia juga berjanji untuk tidak mengangkat petinggi perusahaan di Washington, tetapi justru mengangkat mantan petinggi Goldman Sachs dan sejumlah miliarder menduduki jabatan dalam pemerintahannya.
Dengan sejumlah kebijakannya, gerakan penolakan mulai menjalar di Amerika Serikat. Penolakan terutama dipicu rencana kebijakan Trump soal migran. Sejumlah kota di Amerika menyatakan akan menolak kebijakan migrasi Trump
Sedikitnya 37 kota di wilayah Amerika tidak akan menerapkan kebijakan agresif Trump soal imigran. Kota tersebut termasuk San Fransisko, New York, dan Portland, Oregon yang dikenal sebagai kota liberal.
Akan tetapi, Trump menjanjikan salah satu dari prioritas utamanya dalam 100 hari pemerintahan adalah menarik semua dana bagi kota-kota yang menolak kebijakan tersebut, yang kemungkinan akan membatasi gerakan penolakan tersebut. Trump berjanji akan mendeportasi tiga juta migran ilegal di hari pertama pemerintahannya.
Sementara itu, kebijakan Trump yang lain membuat gerakan anti-aborsi kembali menguat. Trump kerap mendukung gerakan pro-hidup. Dia menyatakan akan meninjau keputusan Ketua Mahkamah Agung, Roe v Wade yang melegalisasi aborsi di AS.
Century Foundation mencatat legislator AS membuat lebih dari 400 kebijakan untuk membatasi aksis aborsi pada 2016. Trump juga mengancam menarik pendanaan dari Planned Parenthood, penyedia jasa aborsi terbesar di negara tersebut.
"Ini adalah gerakan pro-hidup terkuat sejak 1973," ujar Presiden kelompok anti-aborsi nasional, Marjorie Dannenfelser. Hal ini juga membuat seorang anggota parlemen asal Texas untuk membuat kebijakan pro-hidup semakin gencar pada 2017.
Kebijakan tersebut pun memicu banyak warga berdonasi di organisasi aktivis. Donasi untuk organisasi aktivis melonjak dengan cepat sejak Trump terpilih. Planned Parenthood yang terancam dengan kebijakan Trump menerima lebih dari 300 ribu donasi dari individu dalam enam pekan sejak pemilihan, melonjak 40 kali lipat dari biasanya.
American Civil Liberties Union yang akan mengajukan gugatan hukum untuk sejumlah kebijakan Trump juga berhasil mengumpulkan 23 juta dolar AS sejak pemilihan.
Rencana kebijakan Trump juga berdampak ke negara lain. Nilai tukar peso Meksiko anjlok ke tingkat paling rendah dalam sejarah.
Ekonomi Meksiko sangat terpukul akibat rencana Trump. Rencana kebijakan Trump tersebut antara lain menekan perusahaan Amerika untuk memindahkan pabriknya keluar dari Meksiko, pengenaan tarif produk Meksiko, dan negosiasi ulang Perjanjian Perdagangan Bebas Atlantik Utara (NAFTA). Rencana itu membuat kurs peso terhadap dolar jatuh bebas.
Dua perusahaan manufaktur besar menangguhkan rencana ekspansinya ke Meksiko. Trump juga mengancam General Motors dan BMW dengan pajak tinggi untuk kendaraan yang berasal dari pabrik Meksiko.