REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sejumlah pengunjung mengaku menikmati acara Beach Fest 2017, karena bisa mencicipi keberagaman makanan Indonesia. Beach Fest adalah bagian dari upaya mempromosikan budaya Indonesia, Wonderful Indonesia di kota Melbourne.
Untuk pertama kalinya acara digelar di kawasan pantai St Kilda, selama dua hari di akhir pekan kemarin (21-22/1).
"Laporan staf mengonfirmasi jumlah pengunjung Beach Fest 2017 di hari Sabtu dari lima pintu masuk ada 20 orang per menit pada hari Sabtu, jadi sekitar 12.000," ujar Nita Lanasier, Event Director Wonderful Indonesia. "Untuk hari Minggu angkanya bisa lebih besar lagi, tapi dalam dua hari penyelenggaraan jumlah pengunjung ada lebih dari 20.000 orang".
"Kedepannya konsep seperti ini bisa lebih dikembangkan lagi dan makanan Indonesia harus lebih banyak ditonjolkan," jelas Nita. "Makanan Indonesia belum cukup dikenal di Australia, seperti makanan Thailand, Vietnam, apalagi Jepang. Banyak yang mengatakan mereka belum pernah mencoba sebelumnya, tapi ternyata suka."
Namun, mereka yang hendak membuka stand makanan atau berjualan harus membayar sewa, dengan kisaran harga yang tergantung dari produknya. Nita mengatakan biaya sewa berkisar hingga $300 - $800, sekitar Rp 3-8 juta per hari.
Ani Lutfian, salah satu warga Indonesia dari Brisbane sampai rela ke Melbourne untuk bisa mengisi acara ini. "Kami menyetir dari Brisbane, 10 jam ke Sydney, lanjut 10 jam lagi ke Melbourne," kata Ani yang mengandalkan produk baksonya.
"Syukur hingga pukul lima sore ini kami sudah menjual hingga lebih dari 600 mangkok," jelasnya. Ani menjual satu porsi bakso sekitar 10 dolar AS atau sekitar Rp 100 ribu.
Lantas seperti apa kata pengunjung soal acara Wonderful Indonesia Beach Fest 2017? Berikut beberapa yang kami wawancara dari St Kilda Beach.
Eleanor
Elanor dan suaminya David berasal dari Newtown, sekitar 1 jam perjalanan mobil dari pusat kota Melbourne. Mereka menghadiri Wonderful Indonesia secara kebetulan, saat membawa dua tamu asal Irlandi, Agatha dan Diarmuid.
"Ketika kami sedang berjalan-jalan di pantai, kami melihat ada keramaian, dan kemudian tertarik untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata ada festival ini," kata Eleanor kepada Sastra Wijaya dari ABC Australia Plus.
Menurutnya mengadakan festival seperti ini bagus di St Kilda, karena mereka yang sedang berada di pantai untuk acara lain juga tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi.
"Saya cukup tahu tentang Indonesia. Ada sanak keluarga saya yang pernah ke Indonesia," tambah Eleanor.
Andrew Bander
Andrew datang ke acara Beach Fest menggunakan kemeja batik, bersama keluarganya. "Saya merasa acara ini hebat, lokasinya sangat bagus, dengan suasana musik dan makanan yang enak-enak," kata Andrew.
Andrew mengaku pernah juga datang-datang ke festival-festival Indonesia lainnya di Melbourne. "Tapi hanya festival yang skalanya kecil, seperti Satay Festival di Box Hill," kata Andrew yang pernah mengunjungi Yogyakarta dan Bali. "Saya disini mencari rendang."
Lisa Hames-Brooks
Lisa adalah warga Australia yang cukup aktif datang ke sejumlah acara-acara yang diadakan komunitas warga Indonesia di Melbourne. "Bagus ya ada kesempatan untuk kumpul-kumpul bersama merayakan hubungan Australia dan Indonesia," jelas Lisa yang cukup fasih.
"Lokasi pantai di Melbourne, terutama di musim panas, juga menjadi daya tarik dan memberikan suasana yang berbeda dari kegiatan perayaan Indonesia."
"Kedepannya panitia bisa terus memilih lokasi yang bagus dan beragam, dengan tempat yang luas, pengunjung bisa duduk-duduk di atas rumput," ujar Lisa yang sangat senang setelah menemukan Es Cendol di acara ini.
Melanie
Melanie adalah warga Australia yang dibesarkan di kota Bandung dan kini kembali dan bekerja di Melbourne. Ia terlihat mengantri baso di tengah cuaca yang mencapai lebih dari 30 derajat Celsius, hari Sabtu (21/01/2017).
"Ini pilih makan baso, karena suka baso.... kan saya besarnya di Bandung," kata Melanie yang akses Australianya nyaris hilang.
"Saya suka acara ini, karena saya kangen sama Indonesia dan makanannya," ujar Melanie.
"Saya juga senang karena bisa bareng-bareng komunitas Indonesia, pokoknya saya kangen lah, kangen sama Indonesia, makanya saya datang."
Victoria Fanggidae
Victoria, akrab dipanggil Ria pernah mengenyam pendidikan S-2 di University of Melbourne. Setelah beberapa tahun kerja di Indonesia, kini ia kembali ke Melbourne untuk meneruskan program Doktor di bidang kebijakan publik di universitas yang sama.
"Menurut saya ini menarik dengan festival-festival sebelumnya, karena yang dulu sepertinya lebih tertutup ya," kata Ria. "Juga terlihat lebih banyak warga Australia dari biasanya."
"Tapi beberapa masukannya adalah panggungnya terlampau kosong, memang ada beberapa penampilan budaya tradisional, tetapi seperti sekarang misalnya, tidak ada apa-apa di panggung."
"Saya lebih berharap, mudah-mudahan besok (Minggu, 22/01/2017), akan lebih banyak penampilan, dan ada baiknya juga kalau lebih menonjolkan musik-musik pop Indonesia."
Rebecca Tanfield
"Saya baru mengetahui adanya acara ini beberapa hari lalu dari Facebook. Saya kemudian memberitahu beberapa teman saya mengenai acara ini," kata Rebecca kepada Sastra Wijaya, dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar.
Namun menurut Rebecca, bila informasi acara ini disebar lebih banyak lagi, seperti lewat poster-poster di tempat umum, kemungkinan akan lebih banyak orang yang mengetahui.
Rebecca pernah belajar di Bahasa Indonesia di Universitas Mataram, Lombok, dan pernah ikut kelompok tari Saman yang tampil di beberapa acara yang diselenggarakan komunitas Indonesia di Melbourne.