Sabtu 28 Jan 2017 04:00 WIB

Pembuatan Zona Aman di Suriah Berisiko Tinggi

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Gambar dari video pada 12 Desember 2016 menunjukkan asap yang membumbung akibat bom di timur Aleppo, Suriah.
Foto: REUTERS/via ReutersTV
Gambar dari video pada 12 Desember 2016 menunjukkan asap yang membumbung akibat bom di timur Aleppo, Suriah.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON --  Dorongan untuk Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam membuat zona aman di Suriah dinilai memiliki risiko tinggi. Ia harus menghadapi kemungkinan tindakannya ditentang oleh Rusia. 

Pada Rabu (25/1) lalu, Trump mengatakan bahwa ia ingin membuat zona aman untuk melindungi para pengungsi Suriah. Hal ini juga diminta oleh kelompok oposisi di negara itu karena serangan udara dan pemboman yang membahayakan warga sipil di wilayah yang mereka kuasai. 

Belum dipastikan apakah langkah yang akan diambil oleh Trump dalam pembuatan zona aman tersebut. Di samping itu, tujuan pembangunannya juga belum terungkap, apakah semata untuk melindungi pengungsi atau memperluas akses militer AS untuk dapat menembak jatuh pesawat milik Pemerintah Suriah dan sekutu utama Rusia. 

Mantan Presiden AS Barack Obama sebelumnya menolak rencana itu. Saat ini, Trump masih dihadapkan dengan keputusan beresiko tinggi terkait hubungan Negeri Paman Sam dan Rusia yang selama ini bersebrangan. 

Sementara itu, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, mengatakan Trump belum berkonsultasi dengan Rusia terkait rencana pembuatan zona aman. Ia mengatakan segala sesuatu harus dipertimbangkan agar tidak memperburuk situasi. "Tentunya, rencana ini sangat penting dipertimbangkan dengan matang agar tidak memperburuk situasi pengungsi Suriah," ujar Peskov, Jumat (27/1). 

Departemen Pertahanan AS belum memberi komentar apapun terkait rencana Trump. AS saat ini fokus dalam memukul mundur kelompok militan yang ada di Suriah, salah satunya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).  "Kami saat ini bertugas untuk satu hal di Suriah yaitu memukul mundur kekuatan ISIS," jelas juru bicara Pentagon Jeff Davis.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement