REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Presiden Nusantara Foundation sekaligus Presiden Muslim Foundation of America, Inc Imam Shamsi Ali menanggapi perintah eksekutif Presiden AS Donald Trump mengenai kebijakan imigrasi terhadap Muslim. Berikut ini pernyataan beliau pada 29 Januari 2017 yang diterima Republika.co.id.
Donald Trump baru dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat ke 45 sekitar seminggu lalu. Namun dalam seminggu itu berbagai kebijakan dan keputusan kontroversial telah diambilnya. Barangkali salah satu kebijakan yang paling kontroversial, bahkan menyakitkan sebagian masyarakat Amerika sendiri adalah ditandatanganinya aturan pelarangan pendatang dari tujuh negara mayoritas Muslim.
Baru kemarin hari saya melihat Senator Chuck Schumar, Ketua kelompok minoritas di Senate Amerika Serikat menangis dalam konferensi pers dan berjanji untuk melawan dan membatalkan keputusan presiden Trump itu. Demonstrasi juga dilakukan oleh ribuan warga Amerika dari berbagai golongan ras, etnik, maupun agama.
Ketujuh negara itu adalah Iran, Irak, Suriah, Somalia, Yaman, Libia, dan Sudan.
Alasan utama dari pelarangan (banning) itu adalah untuk menjaga keamanan Amerika dari kemungkinan serangan teroris dari luar (foreign terror). Bahwa dengan keputusan presiden yang dikenal dengan "Executive Order" itu ditujukan untuk menutup celah kemungkinan Amerika kecolongan serangan terror dari negara-negara mayoritas Muslim itu.
Ditandatangani Jumat, 27 Januari, dan segera diimplementasikan pada Sabtu 28 Januari kemarin. Aturan yang tidak terperinci itu akhirnya menimbulkan kekacauan di beberapa bandara Amerika, khususnya JFK New York. Lebih seratusan pendatang dari negara-negara itu, termasuk mereka yang telah memiliki visa masuk (entry visa) ke Amerika, bahkan yang telah menjadi penduduk tetap (permanent resident) atau pemegang kartu hijau ditahan di bandara tersebut.
Penanahan ratusan lebih pendatang itu mendorong ribuan warga Amerika datang ke bandara JFK menuntut agar mereka diizinkan masuk Amerika karena memang telah memiliki visa resmi. Pada saat yang sama ACLU, semuah organisasi pembela hak-hak sipil mengajukan tuntutan di Pengadilan Tinggi New York di Brooklyn untuk membatalkan penahanan itu.
Sekitar pukul 9 malam, Sabtu 28 Januari Pengadilan Tinggi New York memutuskan memberikan izin masuk bagi pendatang yang tertahan di bandara JFK. Keputusan tersebut disambut dengan gegap gempita para demonstran, yang juga dihadiri oleh petinggi-petinggi kota New York termasuk beberapa anggota kongress yang mewakili New York.
Diskriminatif dan anti-Islam
Walaupun tidak akui oleh Presiden Trump aturan ini secara khusus menarget komunitas Muslim, dipahami secara luas dan nyata oleh banyak kalangan keputusan tersebut adalah diskriminatif dan anti-Islam.
Diskriminatif karena dari sekian warga negara yang pernah terlibat aktivitas teror di Amerika Serikat, termasuk di antaranya Afganistan dan Pakistan tidak masuk ke dalam list. Bahkan negara yang paling berbahaya bagi Amerika saat ini karena kemampuan mengembangkan senjata nuklir dengan jangkauan jarak jauh, Korea Utara, juga tidak masuk ke dalam daftar yang terlarang.
Bahkan kita ingat juga pelaku mayoritas serangan 9/11 2001 lalu adalah warga Saudi. Tapi kenyataannya Saudi juga tidak masuk ke dalam daftar yang dilarang masuk Amerika Serikat.
Sementara ini ada yang mengira jika keputusan diskriminatif itu didasari oleh kepentingan pribadi Donald Trump. Di mana negara-negara yang Donald Trump tidak masukkan ke dalam list, termasuk Saudi dan Mesir karena memang punya hubungan bisnis.
Keputusan ini juga jelas anti-Islam karena semua yang dimasukkan dalam daftar negara-negara terlarang itu adalah negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim. Bahkan Donald Trump akan memperluas larangan tersebut tanpa penjelasan rinci apa maksud memperluas itu. Boleh jadi besok lusa akan dikeluarkan peraturan larangan bagi seluruh warga yang beragama Islam masuk Amerika.
Advertisement