REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Uni Eropa (UE) pada Senin menolak perintah eksekutif dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang melarang masuknya warga negara dari tujuh negara Muslim utama atau "Muslim ban". "UE takkan melakukan diskriminasi atas dasar kewarganegaraan, ras, atau agama, bukan hanya ketika sampai pada masalah suaka, tapi dalam seluruh kebijakan," kata Kepala Juru Bicara Komisi Eropa Magaritis Schinasa dalam satu taklimat yang dikutip kantor berita Xinhua, Senin (30/1).
Dia menyatakan, bahwa Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Jungker terus-menerus telah menyampaikan keterikatan kami pada prinsip ini. Dengan mengutip pidato kenegaraan Juncker pada September 2016, Schinasa mengatakan, tak ada agama, tak ada kepercayaan, tak ada filsafat, ketika sampai pada masalah pengungsi.
Saat merujuk kepada "model Eropa", ia mengatakan, "Kita harus membuat pilihan mengenai dunia yang kini tinggali. Kita harus memilih antara pengucilan, ketidak-setaraan dan keangkuhan nasional di satu sisi dan keterbukaan, kesetaraan sosial serta solidaritas sosial di pihak lain."
Berdasarkan perintah eksekutif Trump, yang ditandatangani pada Jumat (27/1), pengungsi dari seluruh dunia akan ditangguhkan untuk memasuki AS selama 120 hari. Sementara semua imigran dari apa yang disebut "negara dengan keprihatinan terorisme" akan ditangguhkan selama 90 hari.
Negara yang termasuk dalam larangan tersebut adalah Irak, Suriah, Iran, Sudan, Libya, Somalia and Yaman. Seluruh penduduk dari negara itu berjumlah lebih dari 130 juta. Larangan tersebut memicu kekacauan di seluruh bandar udara internasional AS sekaligus protes yang berlanjut di seluruh negeri itu dalam beberapa hari belakangan.