REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Kebijakan Presiden Amerika Serikat melarang pengungsi dari tujuh negara berpenduduk sebagian besar muslim adalah haknya sebagai kepala negara, tetapi langkah itu mesti didasari atas alasan masuk akal, kata pemerintah Cina, Senin (30/1).
Perintah pelarangan itu, yang ditandatangani pada Jumat, ditentang banyak politisi dari Partai Demokrat dan Republik, serta banyak kepala negara asing mengecam kebijakan tersebut. Banyak warga memrotes kebijakan itu di bandar udara dan menggugatnya ke pengadilan.
Trump mengatakan, pelarangan tersebut tidak dilatari kebencian terhadap agama tertentu, tetapi agar AS tetap aman. Kebijakan itu dibuat demi melindungi AS dari ancaman pegaris keras. Kementerian Luar Negeri Cina telah mencermati laporan sejumlah pihak terkait kebijakan larangan pengungsi pemerintah AS.
"Cina meyakini kebijakan terkait pengungsi merupakan bagian dari kedaulatan suatu negara," kata kementerian. "Namun, aturan itu mesti dilandasi alasan masuk akal," tambah kementerian dalam pernyataan singkatnya.
Pemerintah tidak memberi keterangan lebih lanjut. Cina tengah menjalani masa libur Tahun Baru Imlek selama satu minggu, sehingga pegawai negeri baru bekerja Jumat. Negeri Tirai Bambu tengah meningkatkan diplomasinya dengan negara kawasan Timur Tengah, khususnya Iran dan Sudan, dua negara yang mengisi daftar larangan pengungsi Trump.
Populasi muslim di Cina mencapai sekitar 20 juta jiwa, termasuk diantaranya warga Uighur di wilayah barat Xinjiang. Wilayah itu tengah mengalami masalah dengan pegaris keras, kata pemerintah. Pegiat hak dan pelarian politik mengatakan, penyebab konflik Xinjiang adalah kebijakan keras pemerintah berikut ketatnya pengawasan terhadap penganut Islam.
Kerusuhan di Xinjiang dikabarkan mengorbankan ratusan jiwa dalam beberapa tahun belakangan. Namun, China menyangkal tuduhan pegiat, bahkan pemerintah menjamin kebebasan beragama warganya.