Rabu 01 Feb 2017 03:35 WIB

Cerita Imam Besar Masjid New York tentang Donald Trump

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nidia Zuraya
Presiden AS, Donald Trump
Foto: AP
Presiden AS, Donald Trump

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Donald Trump baru dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat ke-45 beberapa waktu lalu. Namun, berbagai kebijakan dan keputusan kontroversial telah diambilnya.

Imam Besar Masjid New York yang juga Presiden Nusantara Foundation, Shamsi Ali mengatakan, mungkin salah satu kebijakan yang paling kontroversial. Bahkan menyakitkan sebagian masyarakat Amerika, ketika ditandatangani aturan pelarangan pendatang dari tujuh negara mayoritas Muslim ke Amerika.

"Baru kemarin saya melihat Senator Chuck Schumar, ketua kelompok minoritas di Senat Amerika Serikat menangis dalam konferensi pers dan berjanji untuk melawan dan membatalkan keputusan Presiden Trump itu," kata Imam Shamsi kepada Republika, Selasa (31/1).

Ia mengungkapkan, demonstrasi juga dilakukan oleh ribuan warga Amerika dari berbagai golongan ras, etnik dan agama. Diketahui, ketujuh negara Muslim yang penduduknya dilarang masuk ke Amerika di antaranya Iran, Irak, Suriah, Somalia, Yaman, Libia dan Sudan.

Alasan utama dari pelarangan tersebut untuk menjaga keamanan Amerika dari kemungkinan serangan teroris yang berasal dari luar (foreign terror). Keputusan Trump yang dikenal dengan perintah eksekutif tersebut ditujukan untuk menutup celah kemungkinan Amerika kecolongan serangan teror dari negara-negara mayoritas Muslim.

Perintah eksekutif mengenai imigran ini ditandatangani pada 27 Januari 2017. Segera diimplementasikan pada Sabtu, 28 Januari 2017. Aturan yang tidak terperinci itu akhirnya menimbulkan kekacauan di beberapa bandara Amerika, khususnya di JFK New York.

Dampaknya, dikatakan Shamsi Ali, sekitar seratusan pendatang dari tujuh negara yang di larang, mereka yang telah memiliki visa masuk (entry visa) ke Amerika dan yang telah menjadi penduduk tetap (permanent resident) atau pemegang kartu hijau ditahan di bandara.

"Penanahan ratusan lebih pendatang itu mendorong ribuan warga Amerika datang ke bandara JFK menuntut agar mereka diizinkan masuk Amerika karena memang telah memiliki visa resmi," ujarnya.

Ia menuturkan, pada saat yang sama American Civil Liberties Union (ACLU) beserta semuah organisasi pembela hak-hak sipil mengajukan tuntutan di Pengadilan Tinggi New York, Brooklyn. Tujuannya untuk membatalkan penahanan tersebut.

Pada Sabtu (28/1), sekitar pukul 21.00 waktu setempat, Pengadilan Tinggi New York memutuskan untuk memberikan izin masuk bagi pendatang yang tertahan di bandara JFK. Keputusan tersebut disambut dengan gegap gempita para demonstran. Petinggi-petinggi kota New York termasuk beberapa anggota kongress yang mewakili New York juga hadir di sana.

Shamsi Ali menerangkan, walaupun tidak diakui oleh Presiden Trump bahwa aturannya secara khusus menarget komunitas Muslim. Tapi, dipahami secara luas dan nyata oleh banyak kalangan bahwa keputusan tersebut adalah diskriminatif dan anti Islam.

"Diskriminatif karena dari sekian warga negara yang pernah terlibat aktifitas teror di Amerika Serikat, termasuk di antaranya Afganistan dan Pakistan tidak masuk ke dalam list," ujarnya.

Ia menjelaskan, bahkan negara yang paling berbahaya bagi Amerika saat ini tidak dilarang. Padahal kemampuan negara tersebut mengembangkan senjata nuklir dinilai berbahaya. Sementara, ada yang mengira jika keputusan diskriminatif Trump didasari oleh kepentingan pribadinya. Di mana negara-negara yang tidak masukkan ke dalam list memang punya hubungan bisnis dengannya.

"Keputusan ini juga jelas anti Islam karena semua yang dimasukkan dalam daftar negara-negara terlarang itu adalah negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim," jelasnya.

Dikatakan dia, bahkan Trump akan memperluas larangan tersebut tanpa penjelasan rinci apa maksudnya. Boleh jadi besok lusa akan dikeluarkan peraturan larangan bagi seluruh warga yang beragama Islam masuk Amerika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement