REPUBLIKA.CO.ID, VALLETTA -- Para pemimpin Uni Eropa (EU) bertemu di Malta pada Jumat (3/2) untuk mendorong rencana yang diharapkan bisa mencegah gelombang baru migran musim semi yang berlayar ke Italia dari Afrika. Namun para pejabat itu menyadari dengan berlanjutnya anarki di Libya berarti sebuah perbaikan cepat merupakan perjalanan panjang.
Perdana Menteri Inggris Theresa May juga akan menghadiri acara itu, meskipun berencana memulai negosiasi bulan depan guna membawa Inggris keluar dari Uni Eropa. Inggris, bersama dengan Prancis, adalah dua kekuatan militer utama dan donor kunci blok itu di Afrika. Kehadiran May juga merupakan pengingat Brussels akan terus bekerja sama dengan London lama setelah Brexit.
May juga memiliki kesempatan untuk menjelaskan pada 27 rekan satu kawasannya tentang kunjungannya pekan lalu untuk bertemu Presiden baru Amerika Serikat Donald Trump, yang mendukung Brexit, meragukan perdagangan bebas, mencegah pengungsi dan memiliki hubungan baik dengan Rusia. Sikap Trump itu memunculkan kewaspadaan di Eropa.
Pemimpin Inggris itu bisa merasakan sambutan yang tidak terlalu baik atas keputusannya segera merangkul Trump. Sebuah kesepakatan kontroversial dengan Turki tahun lalu telah menghentikan masuknya pengungsi ke Jerman melalui Yunani.
Sekarang Uni Eropa telah mengalihkan perhatian kepada Italia, di mana tercatat 181 ribu orang tiba pada 2016, sebagian besar dari mereka dianggap untuk mencari kerja dan tidak membutuhkan suaka dari penganiayaan. Risiko yang dihadapi orang-orang itu di sekitar laut Malta setelah melintasi Sahara, lebih dari 4.500 orang tenggelam tahun lalu, akan digarisbawahi ketika para pemimpin itu memperbaharui janji untuk membantu kehidupan warga Afrika menjadi lebih baik tanpa meninggalkan rumah mereka.
"Ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kematian di padang gurun dan di laut. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kendali atas migrasi di Eropa," kata ketua pertemuan puncak Donald Tusk.
Permusuhan populer terhadap imigrasi telah memicu gerakan nasionalis anti-Uni Eropa, menciptakan kekuatan insentif bagi para pemimpin yang menghadapi pemilihan umum kembali, termasuk kanselir Jerman Angela Merkel, yang ingin berkuasa kembali di periode keempat pada September.
Para pemimpin Uni Eropa mengakui mereka tidak dapat menerapkan kesepakatan dengan Turki pada Libya terkait pencari suaka. Sementara itu Badan urusan Pengungsi PBB (UNHCR) mengingatkan mereka pada Kamis, sejak kejatuhan Muammar Gaddafi pada 2011 Libya bukan tempat yang aman.
"Tidak akan ada basoka," kata seorang pejabat senior EU pada Kamis.
Pada tahap ini blok tersebut bisa lebih terlibat langsungdalam menangani pencari suaka di dalam Afrika. Ini yang membuat Uni Eropa mencoba untuk mendukung pemerintahan di Tripoli yang didukung PBB. Perdana Menteri Fayez Seraj tengah berada di Brussels dan Roma pada Kamis untuk mendengar janji bantuan dan dana untuk melatih dan memperkuat pasukan patroli laut dan perbatasannya.