REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Penasihat khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pencegahan Genosida Adama Dieng mendesak pemerintah Myanmar mengakhiri kekerasan yang dialami umat Muslim Rohingya di Rakhine. Ia mengaku terkejut dan prihatin mengetahui adanya pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan petugas keamanan ke para warga Rohingya di wilayah utara Myanmar itu.
Pernyataan Dieng itu merupakan tanggapan atas laporan Komisioner Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR) yang diterbitkan 3 Februari lalu. Dieng mengatakan, Senin (6/2), ada sejumlah dugaan pelanggaran HAM berat telah menimpa anggota Rohingya pascakerusuhan terjadi Oktober lalu.
"Pemerintah Myanmar wajib menyelenggarakan penyelidikan yang independen dan tidak berpihak demi membuktikan dugaan itu. Pasalnya, hasil penelusuran OHCHR yang cukup kredibel menunjukkan adanya kejahatan kemanusiaan. Kekejian itu mesti segera dihentikan!" katanya.
Menurut laporan OHCHR, banyak petugas terlibat sebagai pelaku pemerkosaan massal, pembunuhan di luar pengadilan, bahkan korbannya adalah anak-anak dan bayi. Petugas juga diduga melakukan pemukulan sadis serta penghilangan paksa.
Ia menyambut komitmen pemerintah Myanmar segera menyelidiki masalah itu. Namun Dieng mengkritisi satuan tugas pimpinan Wakil Presiden Myint Swe karena gagal menemukan bukti kejahatan.
"Pemerintah Myanmar sebenarnya punya akses penuh memeriksa lokasi kejadian, tetapi justru tidak menemukan bukti kejahatan itu, sementara OHCHR yang aksesnya terbatas, justru berhasil menghimpun banyak kesaksian dan bukti lain melalui para pengungsi di negara tetangga," kata Dieng.
"Komisi pencari fakta itu tidak dapat dipercaya untuk menyelidiki masalah ini," katanya.
Dieng mendesak pemerintah Myanmar agar membentuk lembaga yang independen dan tidak memihak, bahkan jika perlu melibatkan pengawas dari komunitas internasional. "Jika pemerintah Myanmar ingin dipercaya oleh negara kawasan serta komunitas internasional, mereka harus menyelidiki masalah ini dengan benar," katanya.
Sejumlah serangan di pos polisi Rakhine pada 9 Oktober 2016 memicu petugas melakukan aksi balas dendam hingga menewaskan puluhan warga serta membuat puluhan ribu anggota suku Rohingya mengungsi. Pegiat hak untuk Rohingya mengklaim, korban tidak hanya puluhan, melainkan ratusan jiwa.
PBB menilai Rohingya adalah kelompok masyarakat yang paling banyak dibunuh di seluruh dunia. Banyak anggota komunitas itu tewas dalam operasi militer di lokasi yang ditutup untuk lembaga bantuan dan wartawan independen.
Pemerintah Myanmar dituduh tak berkenan membuka diri untuk para pengawas asing, sehingga dua lembaga PBB pun tidak punya akses melakukan penyelidikan di negara itu. Penasihat urusan Myanmar untuk Sekretaris Jenderal PBB, Vijay Nambiar mengingatkan Desember 2016 lalu, kerusuhan di wilayah barat negara itu berisiko akan semakin liar.
Ia meminta Dewan Pemerintah Myanmar yang juga pernah meraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi agar berperan lebih aktif menyelesaikan masalah antara komunitas muslim dan penganut Buddha di negara itu. Sebelum insiden 9 Oktober, kerusuhan antarmasyarakat sempat terjadi pada 2012 hingga mengorbankan 100 jiwa yang sebagian besarnya adalah umat muslim, bahkan membuat 100 ribu warga mengungsi.