REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Utusan PBB untuk Timur Tengah, Nickolay Mladenov turut memberikan peringatan kepada Israel. Ia mengatakan, ada konsekuensi yang akan diterima Israel jika bersikeras mengesahkan rancangan UU kontroversial untuk melegalkan permukiman Yahudi yang dibangun di Palestina.
"Jika disahkan menjadi undang-undang, RUU itu akan memberikan konsekuensi yang luas bagi Israel dan mengurangi prospek perdamaian Arab-Israel," ujar Mladenov.
RUU itu pada awalnya akan diajukan di akhir 2016, sebagai bagian dari upaya rencana evakuasi warga Palestina di permukiman ilegal Amona. Pengajuan ditunda beberapa kali di tengah kritik keras dari masyarakat internasional dan tekanan dari pemerintahan mantan Presiden Barack Obama.
"Ini adalah langkah besar menuju legalitas pencaplokan lahan dan jauh dari solusi dua negara," kata Ben Nun.
Beberapa jam sebelum evakuasi warga Palestina di permukiman Amona dilakukan pada 1 Februari, Israel mengungkapkan ada 3.000 rumah baru yang akan dibangun di Tepi Barat. Pengumuman ini membuat jumlah total unit rumah baru yang disetujui Israel sejak pelantikan Presiden AS Donald Trump mencapai lebih dari 6.000 rumah, di seluruh wilayah Palestina yang diduduki Israel.
Baca: Parlemen Israel Godok UU Legalkan Permukiman Yahudi
Pekan lalu, para pejabat Israel memberikan persetujuan akhir pembangunan 153 rumah di Yerusalem Timur, yang sebelumnya dibekukan di bawah tekanan dari Presiden Obama. Sebaliknya, Presiden Trump justru menjanjikan dukungan kuat untuk Israel sehingga dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bergerak cepat tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Netanyahu telah berjanji akan mencabut semua pembatasan terhadap aktivitas pembangunan pemukiman Yahudi di Yerusalem Timur. Sementara, Menteri Pendidikan Israel, Naftali Bennett, mengusulkan agar RUU baru dapat berlaku untuk mencaplok pemukiman Ma'aleh Adumim yang disebut daerah E1.
Jika Netanyahu benar-benar menghapus pembatasan itu, maka pembangunan di Givat Hamatos dan di E1, yang sempat dihentikan, bisa dilakukan kembali. Kedua wilayah itu akan kembali memicu ketegangan antara Israel dan Palestina di Yerusalem dan Tepi Barat.
Koridor E1 terletak di area C, yang 60 persen dikuasai Israel dan sisanya dikuasai otoritas Palestina.
"Di internal Israel, ada beberapa orang dari sayap kapan yang ingin segera maju. Givat Hamatos dapat dikuasai nanti, jika pemerintah menginginkan. Hal itu akan memberikan efek yang besar dengan melepaskan Yerusalem Timur dari Bethlehen dan Tepi Barat," ujar seorang peneliti di LSM Israel, Aviv Tatarsky.
Menurut Tatarsky, membangun di E1, yang merupakan rumah bagi sejumlah komunitas Bedouin, akan memotong Tepi Barat dari utara ke selatan. Upaya untuk mencaplok pemukiman di E1 ditunda sampai Netanyahu bertemu dengan Trump di Washington pada 15 Februari mendatang.
Gedung Putih turut menanggapi masalah permukiman ilegal Israel. Dalam pernyataan resminya, Gedung Putih mengatakan pembangunan permukiman bukan sebuah halangan bagi perdamaian Israel-Palestina, tetapi mungkin merupakan hal yang tidak bermanfaat.