REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Persetujuan Parlemen Israel bagi peraturan yang mensahkan permukiman di Tepi Barat Sungai Jordania dinilai dapat merusak penyelesaian dua-negara. Selain itu juga dapat menghalangi upaya untuk mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina.
Pada Senin (6/2), Knesset (Parlemen) Israel menyetujui apa yang disebut "Regulation Bill", yang secara mundur mensahkan sebanyak 3.850 rumah di puluhan pos depan yang dibangun secara tidak sah di tanah milik pribadi orang Palestina. "Rancangan peraturan tersebut dipandang sebagai penegakan status tidak sah permukiman dan melanggar konvensi dan hukum internasional serta resolusi terkait Dewan Keamanan PBB," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Mesir Ahmed Abu Zeid di dalam satu pernyataan dilansir laman Xinhua.
Ia menambahkan tindakan sepihak semacam itu akan menghalangi upaya untuk mewujudkan perdamaian guna menghidupkan kembali proses perdamaian dan melanjutkan pembicaraan langsung antara Palestina dan Israel. Ia menekankan hak rakyat Palestina untuk mendirikan negara mereka sendiri di wilayah yang sepenuhnya milik mereka dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Tindakan tersebut juga dikutuk oleh Liga Arab, yang menggambarkan peraturan baru Israel itu sebagai tak lebih dari kedok untuk mencuri tanah dan merampas harta orang Palestina. Pada awal Desember 2016, Knesset mula-mula menyetujui dua rancangan Undang-Undang kontro-versial pro-permukiman yang dimaksudkan untuk berlaku mundur dan mensahkan sebanyak 4.000 rumah di permukiman Yahudi dan mengizinkan perampasan lebih banyak tanah orang Palestina di Tepi Barat.
Lebih dari 400 ribu pemukim Yahudi saat ini tinggal di Tepi Barat dan tak kurang dari 200 ribu orang lagi tinggal di Jerusalem Timur, yang akan dijadikan ibu kota negara masa depan oleh orang Palestina. Israel dituduh oleh masyarakat internasional sebagai penyebab kebuntuan dalam proses perdamaian akibat kebijakan perluasan permukimannya, yang ditolak bahkan oleh sekutu paling kuatnya, Amerika Serikat.